Wednesday, October 10, 2012

Mengemas Tradisi Sosial Nan Tercecer

maninjau-mesjid-sastra-minang-modern-blogspot-dot-com
Dulu Minangkabau kental dengan seni dan tradisi lisannya. Kaba, petatah-petitih, pantun adalah contohnya. Ia sekaligus menjadi media pentransformasian keilmuan dan kearifan lokal dari generasi tua ke generasi muda. 

Setelah masuk dan berkembangnya agama Islam, tradisi lisan yang berkembang di Minangkabau telah digeser oleh tradisi tulis.  Para ulama mulai menuangkan semua ajaran dan faham mereka ke atas kertas. Kagiatan ini berlansung di surau-surau tradisional atau di surau-surau tarekat.

Kegiatan penulisan ini dilakukan dalam upaya membumikan ajaran dan pemikiran mereka agar isinya dapat dinikmati bahkan dipelajari oleh generasi jauh di depannya. Dengan demikinan ajaran itu tidak hilang dengan cepat secepat para guru itu di dunia ini.

Dua tradisi di atas telah memperkaya khasanah tradisi di Minangkabau. dan kedua-duanya sudah menjadi bagian masa lalu yang indah. Hanya bisa dibanggakan namun, tak dapat lagi dijumpai dengan mudah. Tradisi bakaba hilang seolah ditelan malam. 

Dendang tukang kaba serasa terngiang indah. Mendayu di ruang waktu. Ibarat kekasih yang pergi merantau, jauh di seberang lautan Hindia. Suaranya serasa sayup-sayup sampai, membuat kerinduan makin mendalam.  
Lain lagi dengan tradisi tulis. 

Penulisan yang dilakukan dengan bahasa Arab dan Arab Melayu, perlahan kehilangan rasa dan makna. Seiring perginya para guru dan generasi yang bisa membaca dua bahasa itu. Stagnannya perkambangan tradisi tulis ini terjadi setelah peristiwa pemberontakan PRRI tahun 1958

Pada saat itu para laki-laki banyak yang merantau atau mengungsi ke hutan-hutan untuk menghindari kekuatan kontrol negara. Pada periode inilah surau-surau sebagai tempat berkembangnya ajaran islam dan tradisi tulis ”roboh” satu persatu. Surau menjadi kosong.

Setelah pergolakan itu meredam dan selesai, para perantau membawa tradisi baru. Sebuah tradisi yang didapatnya di negri orang. Kebiasaan dan gaya hidup yang jauh berbeda dari tradisi Minangkabau. Orang menyebutnya dengan tradisi modern

Di mana segala faham berkiblatkan barat. Salah satunya adalah mengenai pemanfaatan teknologi. Mesin tik, selanjtnya kompoter, telah menggairahkan ”tradisi ketik”.

Sampai saat ini tradisi ketik menjadi populer dan sangat digemari. Untuk mengungkapkan rasa cinta pada kekasih hati saja, orang menggunakan ketikan. Baik melalui email, sms, dan sekarang berupa facebook. Cepat, tepat bahkan singkat. Tapi kita lupa dia gersang dari ”rasa”.

Tulisan ini tidak bermaksud membandingkan tradisi mana yang lebih baik. Toh semua tradisi ini muaranya untuk memperlancar hidupnya manusia. Namun, harapannya adalah ”kok dapek nan baru, nan lamo jan dilupokan”. Sekarang, mengapa kita tidak membongkar lagi nilai-nilai yang ada pada tradisi-tradisi yang pernah kita miliki itu. Karena tradisi yang dihidupi akan membangkitkan aura keberadaban suatu etnisnya. 

Sebutlah itu tradisi lisan bakaba. Dengan bakaba orang berusaha melakukan pengajaran dengan halus, menyindir menggunakan kato nan ampek sehingga setiap kata itu memiliki makna yang menusuk dan mengikis kekeliruan. Bakaba merupakan usaha memberi pembelajaran pada pendengar dari pengalaman hidup orang lain.

Begitu juga dengan petatah petitih atau pantun. Dalam menolak pinangan orang misalnya, dia tidak mesti mengatakan ”saya tidak mencintaimu atau saya tidak mau menikah denganmu”. Namun melalui pantun, kata-kata malereang lainnya, orang bisa paham bahwa maksud hatinya tidaklah hendak.  

Di berbagi negara dan etnis bangsa pada era sekarang sedang menggerakkan kemballi menggali kearifan lokal. Malaysia sebagi salah satu contohnya merupakan negara yang bernafsu besar dengan tradisi-tradisi yang akan ”memartabatkannya”. Semangatnya terbakar untuk memiliki kearifan dan kekayaan-kekayaan budaya. Mereka tahu dan sadar sepenuhnya bahwa yang kita anggap kuno itu berselimutkan kesepurnaan.

Geliat peduli tradisi juga terlihat di Tanjung Pinang, tempat lahirnya Gurindam Dua Belas karya Ali Haji. Ia menjadi salah satu ”negara rantau” yang cepat tanggap. Apalagi setelah adanya kleim-an Malaysia bahwa pantun berasal dari negaranya.   

Masyarakat dan pemerintah di Tanjung Pinang bekerja sama dan sama-sama bekerja memunguti kembali kearifan yang berceceran. Di segala ”ruang kata” mereka menggunakan pantun.  Brosus niaga, pembayaran pajak, iklan sampai kepada  himbauan memakai helm satandar mereka menggunakan pantu. Semangat ini iiringi dengan mengganti slogan kota Tanjung Pinang dengan ”Kota Gurindan Negeri Pantun”.

Nah, kita sebagai ”negara Minangkabau” yang masih dapat membuktikan kalau kita memiliki tradisi tulis dan tradisi lisan itu apakah akan berdiam diri saja?.  

Jangankan mengembangkan tradisi tulis dengan menggencarkan pembelajaran baca tulis Arab Melayu dan Bahasa Arab, mengemasi naskah-naskah hasil tradisi tulis itu saja kita masih enggan. Sehingga banyak naskah kita itu yang sudah hancur dimakan rayap seiring digrogoti usia. 

Besar kemungkinan naskah-naskah itu juga telah dilumat oleh kekuatan G30S (Gempa 30 September) kemaren. Apalagi daerah paling parah merupakan daerah pusat naskah, yakni Pariaman. Bila demikian, sudah sepantasnya nan tercecer dari tradisi kita yang banyak itu dikemasi. Semoga. [Bila anda suka artikel ini silahkan klik salah satu iklan diblog ini. Gratis dan sangat membantu update blog ini. Terima kasih]

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komen dan kunjungannya