Wednesday, October 24, 2012

Dua Kuasa Dapur

oleh: Novi Yulia [mandeh_denai@yahoo.com]


Dapur bagi sebagian orang adalah tempat memasak. Tak salah memang, di dapur ibu-ibu atau anak perempuan mengolah bahan makanan untuk disajikan di ruang makan di kala pagi, siang, atau malam. Dapur dalam konteks ini menjadi bagian dari wilayah domestik, yang kadang kala diimbuhi konotasi negatif; perempuan tinggi-tinggi sekolah, akhirnya ke dapur juga, atau tugas perempuan ya dapur-sumur-kasur. Satu stigma patriarki nan menyesatkan.

Dari sisi lokasi, dapur berada dalam posisi marginal. Biasanya dapur dibangun di bagian belakang rumah, berdekatan dengan jamban. Posisi ini menempatkannya sebagai pelengkap rumah, bukan inti kehidupan rumah tangga.

Stigma-stigma akan dapur sebagai locus pengetatan ruang interaksi perempuan dan marginalisasi letak serta perannya, menegasikan dapur sebagai titik penting keberadaan kuasa-kuasanya yang bak pepatah bagai si bisu barasian; ada dalam ketiadaan. Kuasa-kuasa itu tenggelam di bawah ambang batas sadar “peradaban” kita yang paternalistik, yang cenderung menafikan kesederhanan bentuk, tapi sesungguhnya memiliki deposit dan potensi nilai serta makna dalam kehidupan.

Kuasa budaya
Pertama, dapur memiliki kuasa budaya. Khusus di Minangkabau—penulis tak tahu pasti bagaimana di etnis lain—dapur merupakan wilayah oikumene, pusat peradaban, tempat transmisi keminangkabauan digodok serta ditebar.

Sebagai masyarakat dengan tradisi matrilineal, dapur dalam rumah gadang tak ubahnya ruang oval, kantor pribadi kepresidenan di AS sana. Segala hal didiskusikan dan diputuskan di dapur, meski peran balai adat senantiasa ditonjolkan sebagai pusat kekuasaan. Setidaknya ada tiga eksponen penting dari eksistensi kuasa budaya dapur ini.

Satu, dalam hal helat perkawinan. Adalah benar bahwa ninik mamak penentu dengan siapa anak kemenakan dikawinkan. Tak salah juga bila di ruang tengah rumah gadang diadakan menghitung hari pernikahan. Tetapi proses itu tak lebih dari “prosedur legal” semata, dimana sebelumnya telah diputus di dapur oleh ibu-ibu. Merekalah yang lebih dulu berembuk dan memutuskan, karena jika helat pernikahan itu dilaksanakan, maka ruang dapur mereka menjadi tempat paling vital. Bila ada makanan adat nan tak terhidangkan, garam yang terlalu banyak, atau sambal yang terlalu pedas, hendak kemana malu para engku-engku datuk disurukan? Dalam realitas inilah, di beberapa tempat, para ninik mamak sebelum memutuskan akan berteriak di ruang tengah rumah gadang dan ditujukan ke ibu-ibu yang bergerombol di dapur mendengarkan sambil tertawa cekikan atau malah sering mereka manyolo, menyela.

“Ba a induak-induak!? Lai satuju jo isi rapek ko ndak? (bagaimana ibu-ibu? Ada setuju dengan isi rapat ini?”

“Lai...tapi usul kami rancaknyo model iko...(setuju, tapi usul kami bagusnya seperti ini)”
Demikianlah, dalam lanjutannya akan terjadi dialog, negosiasi, dan mediasi antara ruang tengah rumah gadang dengan ruang dapur. Interaksi keduanya pada akhirnya mesti menemukan titik temu. Jika tidak terjadi, tentu helat pernikahan anak kemenakan mereka diundur. Dan tak jarang memang kuasa dapurlah yang menang, karena ibarat sindiran kaum patriarkis; jika berdebat dengan perempuan itu sulit karena mulutnya dua. Entah apa maksud mereka.

Dua, memformasi makna atas kiasan-kiasan yang berasal dari produk dapur. Dalam tradisi lisan Minangkabau, tak gejala alam semata yang menjadi sampiran kiasan, seperti alam takambang jadi guru atau sekali air bah sekali tepian berubah. Kita dapat juga menemukan kias “lamang tapai”. Kias ini diumpamakan laki-laki dan perempuan dalam budaya Minangkabau. Selain itu dalam budaya Minangkabau lamang dan tapai merupakan makanan yang dibawa menantu ke rumah mertua pada hari raya Idul Adha atau pada saat menghantar pabukoan pada bulan Ramadhan di beberapa daerah di Minangkabau. Lamang dimakan dengan tapai. Tidak lazim bagi masyarakat Minangkabau memakan lamang tanpa tapai atau sebaliknya. Melalui lemang tepai ini juga komunikasi menantu dan mertua terjalin. Rasa lemang tepai yang diberikan menantu kepada mertua mewakili pesan menatu kepada mertua terkait perangai anaknya. Sehingga si mertua bisa menasehati anaknya jika lemang tepai yang dibawa menantunya kurang manis atau terlalu asam.

Tiga, transmisi masalah seksual. Salah seorang peneliti asing mengajukan pertanyaan penting, terkait masalah seks di rumah gadang. Bagaimana proses edukasi seksual ditransfer dalam interaksi yang serba tabu kepada gadis-gadis Minang yang beranjak dewasa atau akan menikah. Siapakah aktor transmisi itu? Mamakkah, ayahkah, atau ibu? Dan dimana proses itu dilakukan.

Pada masyarakat Minang lampau, dapur menjadi tempat penting proses transmisi itu. Ketabuan persoalan seks/ kelamin dalam masyarakat mendorong masyarakat, terutama kaum ibu membicangkannya di wilayah mereka sendiri, dapur. Di dapurlah perempuan-perempuan muda atau akan menikah itu mendapatkan kursus singkat soal seks dan rumah tangga.

Biasanya, penyampaian itu dilakukan lewat gurauan atau diam-diam dipanggil oleh yang tua. Mereka menggunakan media analogi atas sesuatu yang berkaitan dengan malam pertama, perlakukan pada suami ketika pulang, dan hal-hal spesifik lain. Riuh diselingi canda tawa nakal, yang disambut senyum-senyum malu si calon anak daro ketika persoalan ini dibicarakan di dapur.

Kuasa kapitalisme
Kedua, kuasa kapitalisme lewat menjamurnya rumah makan atau restoran siap saji seperti KFC, CFC, Texas Fried Chiken, Pizza Hut, dan sejenisnya. Keberadaan francaise ini menunjukan kuasa kedua dari dapur. Pada tataran kontemporer, dapur tak lagi bagian dari wilayah domestik, tapi juga ruang publik. Dulu dapur cuma diperuntukan bagi anak perempuan. Sekarang dapur bahkan masuk tivi lewat acara masak-memasak dengan pemasukan ratusan juta rupiah lewat iklan.

Pada warga urban, kuasa kapitalisme dapur bermetamorfosis pada tradisi kuliner. Mereka mengunjungi tempat-tempat makanan enak dengan tata ruang dapur yang dapat mereka lihat sendiri, dan menjadi bagian identitas baru. Dapur dan produknya tak lagi menjadi sampiran dan sampingan kehidupan di rumah tangga. Ia justru meloncat jauh ke depan. Mewarnai sekaligus menggarami kehidupan warga urban, utamanya dan tampaknya perlahan menuju dan mulai mendobrak wilayah rural yang domestikis, yang ditandai berdirinya restoran siap saji di pinggir-pinggir kota.

Dalam kuasa kapitalismenya, dapur memang mengubah konturnya secara fisik dan relasi. Restoran Jepang, misalnya, yang ketika orang memasukinya langsung bertemu dapurnya, menyantapnya langsung dari penggorengan atau meja dapur, sekaligus salah satu tempat melobi rekanan bisnis.

Begitu juga pada acara tivi masak-memasak yang terkenal dengan istilah chef, ahli memasak atau acara kuliner. Setiap akhir pekan, tivi berlomba-lomba menayangkan produk-produk dapur menggugah selera penonton. Lihat saja acara “Ala Chef”, “Kuliner Lebay”, “Kungfu Chef”, “Wisata Kuliner”, dan banyak lagi. Semuanya menunjukan kuasa kapitalisme dapur yang telah menjadi wilayah publik.

***
Zaman memiliki logikanya sendiri mengajarkan pelbagai pengetahuan pada anak-anaknya. Jika zaman lampau dapur menjadi wilayah domestik sekaligus wahana tranmisi edukasi hal yang tabu. Maka masa kini dapur menjadi lahan-lahan komersil, serta memutus proses edukasinya lewat media yang lebih vulgar dan menghancurkan.

Meskipun demikian, satu hal patut dirembukan kembali adalah stigma dapur sebagai wilayah terpencil dan marginal. Kuasa budaya, dan kuasa kapitalisme sesungguhnya bagian kecil dari kuasa-kuasa lain dari dapur yang patut ditelaah lebih jauh. Bukan untuk melawan satu arogansi pemikiran, tapi membuka alternatif kebijaksanaan, terutama pada relasi keperempuanan yang senantiasi dimarginalisasi.
* Novi Yulia, alumni Jurusan Sastra Daerah Minangakabau, Universitas Andalas.

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komen dan kunjungannya