Wednesday, October 10, 2012

Etnis Tionghoa di Kota Padang: Musik Gambang dalam Perubahan Sosial

Maninjau-sastra-minang-modern-blogspot-dot-com
Selama ini kita sering beranggapan bahwa masyarakat Tionghoa yang berada di kota Padang adalah masyarakat yang tertutup dan susah diajak bersosialisasi. Anggapan yang selama  ini telah tertanam di pikiran sebagian besar masyarakat Minangkabau sebagai masyarakat mayoritas ternyata tidak benar.

Pada kenyataannya etnis Tionghoa yang menetap di kawasan Padang Kota Lama ini merupakan masyarakat yang ramah. Bisa menerima orang-orang yang mau bergaul dan yang ingin bersilaturahmi. Mereka senang jika setiap malam sabtu orang-orang menyaksikan kesenian gambang mereka.

Senyum ramah menghiasi setiap wajah orang-orang Tionghoa dan para pemain gambang di gedung himpunan keluarga Lie-Kwee Long See Tong menyambut kami, mahasiswa Sastra Daerah fakultas Sastra Unand yang berkunjung ke sana pada hari sabtu tanggal 13 Juni. Kehangatan sambutan mereka semakin terasa ketika beberapa engkong-engkong menyajikan berbagai makanan kecil pengganjal perut, dengan harapan dapat menghangatkan tubuh di tengah hujan yang mendera kota Padang.

Kedatangan kami kali ini bertujuan melakukan kuliah lapangan pada mata kuliah Etnomusikologi yang diasuh oleh bapak khanizar Chan dan Bung Edi Utama, budayawan ternama Minangkabau.

Berdirinya himpunan keluarga Lie pada mulanya diawali oleh rasa saling membutuhkan. Adanya rasa senasib dan merasa mempunyai kepentingan yang sama di antara mereka sebagai perantau yang mencari peruntungan di Minangkabau. Untuk menjawab segala rasa itu mereka mengadakan pertemuan, setidaknya berkumpul di warung-warung kopi. Sampai pada akhirnya ada salah seorang anggota yang mengibahkan rumahnya untuk tempat pertemuan.

Selanjutnya, tempat yang telah ada ini diperbaiki dengan biaya iyuran para anggota. Saat ini gedung perkumpulan itu telah dibangun permanen.

Sejalan dengan usia perkumpulan ini maka banyak kegiatan yang telah diprakarsai. Mulai dari kongsi kematian yang bertujuan untuk menyelamatkan jenazah.  Tujuan himpuanan ini ternyata sangat mulia. Ia mampu meringankan beban keluarga yang sedang ditimpa musibah kematian. Apalagi biaya pemakaman pada etnis Tionghua  membutuhkan banyak dana. Tentunya tidak semua orang yang mampu memenuhi biaya yang begitu besar. Tradisi ini harapannya dapat menjadi tauladan bagi semua umat. Nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan diutamakan untuk mancapai persatuan dan kesejahteraan bersama.

Selanjutnya kaluarga Lie memiliki seni tradisi gambang. Seni tradisi gambang merupakan sebuah kesenian masyarakat etnis Tionghua yang sangat sakral bagi mereka karena kesenian ini memiliki misi dan tujuan kemanusiaan. dimainkan pada acara pernikahan dan penghibur para keluarga Tionghoa terutama keluarga Lie yang meninggal.

Gambang yang dimainkan pada saat kematian biasanya menyanyikan lagu-lagu yang bersifat belasungkawa. sedih. Dan yang tak kalah penting bertujuan menghibur keluarga yang mendapat musibah kematian tersebut. Sedangkan saat acara pernikahan, lagu-lagu yang didendangkan adalah lagu-lagu bahagia dan ada lagu ke_haru_an dari keluarga pihak perempuan.

Liriknya menyampaikan perasaan keluarga pihak perempuan dalam melepas anak perawannya menjadi istri dan menetap di keluarga pihak laki-laki karena sistem kekeluargaan yang mereka anut adalah sistem patrilineal yaitu garis keturunan ditarik dari pihak laki-laki. Maka setelah menikah seorang perempuan menetap di rumah pihak laki-laki.

Sebagaimana tujuan dari perhimpunan Lie, merupakan himpunan atau persatuan yang mengikat marga Lie dalam ikatan kekeluargaan sehingga apapun bentuk acara yang dihadapi selalu mereka sambut dengan musik gambang. Tentunya ini membuktikan bahwa masyarakat Tionghua adalah orang-orang yang tidak mau larut dalam kesedihan. walau dalam suasana berkabung mereka tetap bermusik, hal ini bukan berarti mengurangi kesakralan dan kekhitmatan suatu acara. Malahan bisa semakin meningkatkan kesakralannya.

Jadi himpunan ini berorientasi himpunan sosial dan bergerak dalam himpunan kematian. Yaitu sebuah organisasi yang megurus segala kepentingan terkait kematian.

Pada tahun 1995 himpunan kelurga Lie membentuk persatuan perempuan. Sampai saat ini jumlah anggotanya melebihi seratus orang. Menurut ibuk Heliyana 57 tahun yang menjabat sebagai ketua satu (1) perhimpunan perempuan keluarga Lie bahwa para anggota melakukan pertemuan sekali dalam sebulan.

Berbagai kegiatan yang diadakan bertujuan mencerdaskan perempuan marga Lie dengan berbagai pembekalan, layaknya ibuk-ibuk PKK bagi kita. Di antara kegiatan rutin yang dilakukan itu adalah masak-mamasak, membahas tentang kecantikan dan berbagai hal terkait dunia perempuan dan dunianya ibuk-ibuk. Untuk dewasa ini ibuk-ibuk keluarga lie mampu menyiapkan makanan jika ada acara di gedung Long See Tong. Ibuk Heliyana menjelaskan dengan semangatnya, tanda ia senang diwawancarai. Saat itu ia didampingi oleh ibuk Hatalia 50 tahun menjabat sebagai ketua dua (2) dan ibuk Lindawati 44 tahun, bendahara.

Pada awalnya masyarakat Tionghoa di kota Padang ini merupakan orang-orang Cina yang merantau, perantauan ini hanya di lakukan oleh kaum laki-laki saja. Tidak ada seorangpun perempuan yang ikut. Karena adanya kebutuhan mereka terhadap perempuan maka, banyak di antara mereka yang menikah dengan perempuan setempat/Minangkabau. Sehingga masyarakat Tionghoa ini mempercayai bahwa mereka bukanlah orang Cina seutuhnya, mereka adalah peranakan atau keturunan Cina.

Sebagaimana yang di kemukakan oleh bapak Arif Rusdi Rusli alias bapak Lie Hap Khiang bahwa mereka itu adalah Cina peranakan. “Lihatlah kulit kami! Tidak berbeda jauh dengan masyarakat Minangkabau, kuning langsat. Bukan putih seperti masyarakat Cina asli” kami ini lahir dan besar di Minangkabau, sebenarnya kami ini orang Minang karena etnis Tionghua itu menetap di Minangkabau ini sudah puluhan tahun bahkan abad namun karena bias politik dunia, kami ikut menggungnya” lanjut beliau.

Bapak Lie Hap Khiang juga memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap ranah Minang.
“Saya lahir dan besar di Minang, saya ini orang Minang” katanya meyakinkan penulis saat bertaya bagaimana perasaannya terhadap Minangkabau. Pengakuan beliau ini bukanlah kata-kata yang gersang makna, apa yang dikatakannya terlihat jelas saat ia menyanyikan lagu Minangkabau Tanah Pusako Bundo.

Lagu ini dinyanyikannya dengan penuh penghayatan, bait demi bait dilantunkan dengan jelas dan menyentuh. Biasnya meluluhkan perbedaan yang menjadi penghalang kebersamaan masyarakat Minangkabau dan Tionghoa selama ini. [Bila suka dengan artikel ini, silahkan klik salah satu iklan diblog ini. Gratis, dan sangat membantu update blog ini. Trima kasih]

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komen dan kunjungannya