Monday, October 15, 2012

Naskah Fiqh Perempuan II


Fiqh Cinta untuk Malai
Naskah “Fiqh Perempuan” Syech Abdurrahman tidak bisa dilepaskan dari situasi sosial-budaya yang mengitari kelahirannya. Untuk itu bisa dijelaskan bahwa naskah “Fiqh Perempuan” ini dipengaruhi oleh dua hal; pertama, secara struktural, kedua, secara kultural.

Sejak abad ke-19 tekanan kolonial belanda terhadap umat Islam Minangkabau secara politik dan ekonomi sangat kuat. Di sisi lain, ide-ide pembaharuan keagamaan di segala bidang semakin gencar masuk ke Minangkabau.

Kondisi ini secara perlahan telah mengubah sistem keluarga batih ke sistem keluarga inti. Proses ini, menurut Taufik Abdullah, memperlemah hubungan mamak kemenakan yang dalam sisitem kekerabatan matrilinial Minangkabau merupakan salah satu aspek penting. Dalam kelurga inti perantau, setahap demi setahap ayah mengambil peran mamak yang selama ini bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Pengalihan tanggung jawab anak-anak dari mamak kepada ayah ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap kehidupan surau.

Naskah Fiqh Perempuan ini merupakan hasil dari perubahan yang terjadi di Minangkabau. Syeh Abdurrahman, mengambil alih peran saudara laki-laki istrinya dalam mendidik anak dan keluarganya. Naskah Fiqh Perempuan ini diperuntukan bagi anak dan istrinya.

Namun, sulit untuk menelusuri dasar-dasar pemikiran dan tahun lahirnya naskah “fiqh perempuan” ini. Dalam kitab “fiqh perempuan” ini pun tidak dapat ditemukan kapan ditulis atau diakhiri sebagaimana sering ditemukan dalam naskah-naskah klasik Minangkabau lainnya, misalnya, Syair Syech Sunur. Namun dari sejumlah data-data yang ditemukan di lapangan, kemungkinan naskah ini ditulis ketika istrinya, Malai menunaikan haji ke Makkah. Tampaknya Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi berusaha memberikan bimbingan praktis kepada sang istri.

Pada tahun 1337 H/1917 M Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi menunaikan haji terakhirnya bersama istri tercinta Siti Malai dan anak perempuannya Ummy Asiah. Jadi sebelum keberangkatan itu naskah fiqh perempuan ini sudah terlebih dahulu diajarkan beliau kepada istri dan anak perempuannya. Naskah ini juga menjadi acuan bagi perempuan-perempuan Minangkabau daerah Pesisir Pantai Barat yang naik haji. Karena Syech Abdurrahman juga bertugas sebagai kepala jamaah haji di kawasan tersebut.

Dalam naskah Fiqh Perempuan ini Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi menulis beberapa permasalahan haji bagi perempuan, yaitu tawaf, sai, ihram, dan dua adab berhias bagi perempuan yang menunaikan haji.

Syech Abdurrahman menulis bahwa tawaf dengan kebaikan dan membaca do’a dihantarkan kedua tangan. Selain itu, dia juga menjelaskan apa itu sai dan wukuf dan bermalam di Mina merupakan rukun dari pada rukun haji. Dalam hal melontar jumrah dilakukan tujuh kali, harus dalam keadaan yakin menggunakan kedua tangannya. Tidak boleh menggunakan kaki karena menggunakan kaki berarti menghina akan sesuatu. Hendaklah mengunakan batu yang suci, besar batu itu kira-kira sebesar biji kacang polong. Sunat jika mambasuh batu itu. Wajib dam bila kekurangan melontar atau mengulang kembalai melontar pada hari tasrik berikutnya.

Dalam kitabnya ini Syech Abdurrahman menjelaskan dua adab penting bagi perempuan, yakni berhias dan berpakaian yang pantas. Dalam hal berhias, ia menjelaskan bahwa Tiada haram bagi perempuan memakai kain yang berwarna. Salahlah jika memakai kain yang ada baunya. Haram memakai haruman kebadan dan kepakaian. Tidak haram mencium baun air mawar dan kasturi.

Sementara untuk berpakaian, Syech Abdurrahman menjelaskan, wajib bagi perempuan menutup auratnya. Jika tidak, lebih baik dia menyelam ke dalam air yang kumuh sekalipun, maka yang sekalian tersebut tidaklah haram. Tidak haram bagi perempuan menutup kepalanya karena akan menjaganya dari panas atau dingin atau karena mengobati luka pada kepalanya. Janganlah menutup muka saat ihram dan jika ditutup maka wajiblah membayar fidiyah. Selain itu, haram baginya mencabut sehelai rambut atau bulu mata, untuk menghias walaupun menggunakan minyak zaitun. Wajib atasnya dam dan makruh baginya menggaruk rambutnya dengan kukunya.

Awal abad ke-20 mulai terjadi perubahan pendidikan surau kepada pendidikan pesantren atau sekolah umum seiring kemunculan gerakan pemikiran Islam yang dipelopori oleh Haji Abdul Karim Amrulah (Haji Rasul), Abdullah Ahmad, Zainudin Labai dan banyak lagi. Sistem halaqah tidak dipakai lagi. Masyarakat mulai menganggap pendidikan ilmu penegetahuan umum dan teknologi lebih penting dari pada ilmu agama dan adat. Zainuddin Labai, salah seorang ulama muda yang terpandai dan murid dari Haji Rasul, menjadikan sekolah pemerintah (kolonial Belanda) sebagai model untuk sekolah agama dasarnya sendiri. Sekolah tersebut adalah sekolah Diniyah, bahkan di sekolah ini pun diperbolehkan perempuan mengikutinya.

Selain itu, wafatnya Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi pada tahun 1923 M menjadi simbol keterpurukan surau seiring makin menguatnya gerakan Kaum Muda di awal abad ke-20 ini. Gerakan ini secara garis besar lebih banyak menggunakan buku-buku rujukan dari pemikiran Muhammad Abduh dan Jalaludin Al Afghani yang secara jelas menganjurkan sebuah modernisme Islam. Para pembaru tahun ini juga menganjurkan sebuah pencapaian umat yang linear dengan Barat. Secara perlahan tapi pasti, surau mulai ditinggalkan dan naskah tidak lagi dijadikan rujukan dalam pengajaran. Pendidikan pesantren memakai buku-buku dari Arab, sehingga, naskah-naskah mengalami kehancuran dan banyak yang dibeli dan diambil oleh para peneliti luar negeri seperti Malaysia.

Pengalihbahasaan yang telah dilakukan terhadap naskah Fiqh Perempuan Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi ditemukan bahwa kitab ini lebih banyak memfokuskan terhadap persoalan haji bagi perempuan. Tampaknya bagi Syech Abdurrahman, penulisan kitab khusus tentang fiqh perempuan ini diperlukan ketika tingginya para perempuan Pariaman menunaikan rukun Islam kelima ke Makkah.

Namun kajian lebih lanjut terhadap karya dan pribadi Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi sangat dibutuhkan dan belum ada yang menulisnya secara tuntas, termasuk puluhan karyanya yang lain. Saat ini para peneliti Islam dan naskah di Sumatera Barat terlalu menitikberatkan pada ulama-ulama surau di wilayah sekitar Ulakan, atau yang terkait dengan Syech Burhanuddin Ulakan. Maka dari itu, penelitian ini bisa dijadikan pijakan awal bagi penelitian lebih lanjut menyangkut naskah-naskah atau manuskrip Syech Bintungan Tinggi dan perannya dalam sejarah dinamika Islam di Sumatera Barat.

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komen dan kunjungannya