Monday, October 8, 2012

Orde Baru, PRRI, dan Perubahan Sosial di Minangkabau


Dalam masyarakat Minangkabau, perubahan sosial-budaya merupakan bagian dari dinamika kehidupannya. Mereka memiliki konsep adat yang jelas mengenai perubahan ini, yakni dalam mamangan adat: sakalia aia gadang, sakali tapian barubah (ketika air bah datang, ketika itulah tepian bergeser). Maka dari itu, pergeseran atau perubahan secara struktural dan kultural dalam kehidupan masyarakat Minangkabau dalam mamangan ini merupakan sebuah sunnahtullah atau adat nan sabanan adat.

Dalam biografi Harun Zein dinyatakan, pertama, berakhirnya PRRI di tahun 1960-an merupakan masa penting menyangkut eksistensi orang Minangkabau. Banyak pemuka adat, agama, dan laki-laki dewasa Minangkabau yang tidak tahan terhadap tekanan dan intimidasi PKI. Tekanan itu terutama terhadap tindakan sewenang-wenang OPR (Operasi Perlawanan Rakyat) di kampung-kampung, bahkan tekanan itu masih dirasakan oleh rakyat setelah adanya amnesti dan abolisi terhadap PRRI oleh pemerintah untuk menghentikan gerakannya (Yusra, ed. 1997: 110).

Meski pada tahun 1961 pemberontakan sudah diakhiri, dalam kenyataannya suasana kehidupan di Sumatera Barat pada masa ini terus-menerus dalam keadaan tertekan secara sosial, budaya, dan politik. Kondisi ini tidak banyak bedanya dengan suasana penumpasan pemberontakan pada tahun-tahun sebelumnya (1958-1960). Kondisi ketertekanan ini dimanfaatkan oleh kaum Komunis di Sumatera Barat. Kaum Komunis kian leluasa mengembangkan diri seraya menghancurkan lawan-lawannya melalui berbagai intimidasi. Tentara pelajar yang dulunya menjadi bagian dari tentara pemberontak kembali dari hutan tidak dapat lagi berbuat apa-apa terhadap kampungnya. Mereka adalah orang yang kalah perang. Periode pasca PRRI adalah masa paling gelap bagi daerah dan masyarakat Sumatera Barat. Masyarakat Minangkabau dicekam kompleks harga diri rendah yang dialami orang-orang yang kalah perang. Pada umumnya orang Minangkabau merasa menjadi bagian orang kelas dua di kampungnya sendiri. Akibatnya banyak pemuda Minangkabau meninggalkan kampung dan daerahnya. Nagari-nagari menjadi sepi. Tenaga produktif keluar dari Sumatra Barat. Berdasarkan amatan Harun Zain sebagai gubernur Sumatera Barat ketika itu banyak orang Minangkabau yang lari itu tidak mengaku sebagai orang Minangkabau. Bahkan sebagian diantaranya ada yang mengganti namanya dengan nama lain guna menyembunyikan identitasnya sebagai orang Minangkabau (Yusra, ed. 1997 :111).

Harun Zain dalam biografinya menggambarkan bahwa masyarakat Minangkabau masa itu kehilangan semangat dan percaya dirinya sebagaimana daerah ini bernama dari “menang-kerbau”. Menangnya kerbau Minangkabau melawan kerbau Jawa yang besar. Secara dramatis biografi ini menceritakan bagaimana bola mata orang Minangkabau terlihat hampa, cemas, dan patah selera untuk bicara. Kini tidak lagi rantau yang bertuah tapi kampung yang bertuah. Kerusakan akibat tekanan tentara pusat (Jawa) terhadap kehidupan sosial-budaya Sumatera Barat tidak saja berdapak pada psikologis masyarakat semata, tapi juga infrastruktur. Nagari-nagari hancur atau terbakar, dan prasarananya rusak parah. Jalan dan jembatan hancur (Yusra, ed.1997: 127).

Salah satu cuplikan yang menggugah ketika itu adalah ketika Gubernur Harun Zain menanyakan kondisi seorang bapak di salah satu nagari di Sumatera Barat.

“Apalagi yang akan saya katakan Pak? Akan memekik, pekik kami sudah sampai ke langit. Akan menangis, air mata kami sudah kering. Tidak ada lagi yang akan disebut. Bagaimana tibanya sajalah nanti” (Yusra, ed.1997: 201).

Pada periode sesudah tahun 1961 jumlah laki-laki yang sudah kawin yang tinggal di rantau dengan keluarga inti semakin bertambah. Sebanyak 52 persen dari perantau laki-laki yang sudah kawin, tinggal di rantau dengan keluarga intinya, 40 persen tanpa kelurga inti mereka, dan 8 persen menikah di rantau. Angka untuk hal-hal yang sama sesudah tahun 1961 adalah 73 persen, 18 persen, 9 persen (Kato, 2005: 148). Selain itu, perempuan pun sudah melakukan perantauan, terlepas dari dia dibawa suaminya atau tidak. Ada alasan yang kuat untuk menyatakan bahwa pada periode itu perempuan muda Minangkabau juga banyak yang merantau. Tujuan pertamanya bukan untuk mencari pekerjaan, tetapi lebih karena ikut atau diajak suadaranya. Sering terjadi seorang perempuan muda diajak saudaranya sekedar membantu-bantu pekerjaan rumah atau membantu mengasuh anaknya pada saat baru melahirkan. Jika sebagian besar keluarga inti di rantau ini mengajak saudara perempuannya, maka perantauan bagi perempuan muda Minangkabau akan semakin meningkat. Di antara mereka ada yang kembali ke kampung, ada yang tetap tinggal di rantau dan kemudian mendapat pekerjaan (Aneka Minang, edisi 7, Mei 1972).

Kedua, kemunculan Orde Baru di Indonesia yang dibarengi dengan proyek modernisasi dan berkembangnya kehidupan perkotaan di berbagai daerah pasca pergolakan PRRI, khususnya di Sumatera Barat, mempengaruhi pola kehidupan budaya orang Minangkabau. Pengaruh itu tampak pada masuknya nilai-nilai baru (baca: Barat) ke dalam nilai-nilai tradisi Minangkabau, dan pergeseran orientasi terhadap kerabat serta keluarga (Sianggang, ed.,1983).

Selanjutnya LBH Padang dalam buku Kearifan Lokal Pengelolaan SDA menggambarkan bahwa salah satu proyek Orde Baru tentang penataan jorong-jorong dalam nagari menjadi desa, tidak saja berakibat pada perubahan tata kelola pemerintahan tetapi lebih jauh ini merupakan praktek penghancuran nilai-nilai adat dan budaya Minangkabau (LBH, 2005: 38). Penghancuran nilai-nilai ini diantaranya menyangkut masalah perkawinan, interaksi suami-istri, dan antarkaum. [Bila suka dengan artikel ini, silahkan klik iklan di halaman depan, gratis. Sangat membantu update blog ini]

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komen dan kunjungannya