Wednesday, October 3, 2012

Lirik Gamad Lirih Orang Nias: Sebuah Wacana Budaya Etnis Pinggiran


oleh: Novi Yulia

Salah satu tampak jelas dalam pemukiman orang Nias di kota Padang adalah letaknya yang tersuruk di kaki-kaki dan lereng bukit. Mereka berkelompok secara eksklusif. Bagi orang Minangkabau dan etnis lain, ada dua perspektif utama mendeskripsikan orang Nias ini; dukun, dan gamad.

Dukun-dukun Nias ini sangat terkenal ampuh dan dianggap paling unggul diantara dukun lain. Sementara gamad, merupakan musik etnis Nias yang  memiliki irama riang, namun dalam lirik lirihnya, seakan tergayut rasa kerinduan kampung halaman, keinginan bergaul, dan ketertekanan sosio-kultural.

Sepuluh tahun terakhir, kota Padang mulai memetamorfosis dirinya sebagai ”kota Minangkabau”. Pemerintah kota berusaha memaksa etnis urban lainnya di lingkungannya untuk mengikuti wacana “kota Minangkabau”, lewat simbol-simbol keminangkabauan, tidak terkecuali etnis Nias. Bangunan-bangunan, kurikulum muatan lokal di sekolah, perayaan hari besar nasional, dan banyak lagi menjadi media minangkabaunisasi kota.
Dalam kondisi ini, orang Nias tidak bisa menggugat hegemoni pemerintah kota dalam minangkabaunisasi tersebut. Meski demikian, orang Nias tetap mengembangkan kehidupannya sendiri dengan proses penciptaan pewacanaan lewat lirik gamad mereka, meski ini menyebabkan keterbelahan wacana budaya tanding yang ingin mereka bentuk.

Pertama, lirik gamad menjadi alat minangkabaunisasi bagi orang Nias sendiri karena tidak ada pilihan lain sebagai warga kota. Kedua, lewat teori Enzeberger, lirik-lirik lagu, dalam hal ini gamad, juga sebagai media partisipasi demokrasi yang mampu menolak wacana minangkabaunisasi dan menghindari kontrol wacana tersebut. Lirik-lirik lirih itu, misalnya, dalam lagu Pupuik Sarunai, Anak Kanduang Anak Abak, Saligi, Alek Olo, Endong-Endong, Bunga Tanjung, Mangana Untuang, dan banyak lagi.

Lagu-lagu di atas diciptakan diantaranya oleh Drs. Syamsi Hasan, Yan Juneid, dan lain-lain. Mereka merupakan orang Nias asli, sehingga ide-ide yang dibangun dari setiap lirik tidak bisa lepas dari latar sosio-kultural mereka. Lagu-lagu ini juga banyak didendangkan oleh, Rosnida, Lina Marni, Syaiful Kelana, yang juga orang Nias. Komposisi ini sangat mempengaruhi kedalaman rasa pendendangan, baik itu rasa perlawanan, maupun  Minangkabaunisasi yang dilematis.

Menjadi Minangkabau
Ide minangkabaunisasi bagi orang Nias didendangkan sebagai irama suara hati untuk berkelumun dalam wacana keminangkabauan kontemporer. Harapan mereka tentu dapat didengar oleh orang Minangkabau, sehingga keberadaan mereka diterima dan diperhitungkan sebagai bagian dari konstruksi budaya Minangkabau sendiri. Mereka tidak ingin lagi dianggap sebagai perantau, pendatang, atau pemaknaan yang lebih ekstrim lain, seperti bekas budak.

Salah satu liriknya, dalam lagu ”Mangana Untuang”; ”kalaulah nasib indak baruntuang// pisang nan ditanam indaklah bajantuang// nasib umpamo si anak lutuang// mancari dahan mancari dahan// tampek bagantuang”.
Lirik lagu yang dikarang dan didendangkan oleh Yan Juneid ini merupakan wakil senandung jiwa orang Nias atas tidak diterimanya mereka di lingkungan etnis Minangkabau. Sementara mereka telah berusaha meminangkabaukan diri agar mendapat posisi di salah satu ruang konstruksi sosio-kultural Minangkabau itu.

Lewat lagu-lagu inilah etnis Nias menyuarakan semangat ingin diterima dan diakui sebagai bagian Minangkabau. Salah satu caranya adalah menjadi keponakan di bawah lutuik. Di mana, mereka ingin memiliki mamak, sebagai streotype pelindung yang berkuasa, sehingga mereka juga bisa ke sawah, ke parak, dan ke ladang mengolah harta mamak, sebagaimana yang diiramakan dalam lagu Anak Kanduang Anak Abak dan  termaktum dalam aturan posisi keponakan di bawah lutuik yang dianut masyarakat Minangkabau. Tema senada tersenandung juga dalam lirik lagu ”Alek Olo”; ”duduak sutan jo marah// tahidang nasi jo samba// pangek lauak bakuah// piriang cambuang ka tambah// hai mano sutan jo marah// sanduaklah nasi makanlah// caro Olo yo bana kato sapangka”.

Pada perhelatan budaya, etnis Nias ingin sejajar dan disejajarkan dengan etnis Minangkabau. Tanpa ada sekat rekat yang menjarakkan. ”Sutan dan Marah” sebagai simbol kekuatan dan strata Minangkabau berusaha diheningkan oleh orang Nias. Mereka ingin duduk sama rendah, tegak sama tinggi. ”hai mano sutan jo marah// sanduaklah nasi makanlah// caro Olo yo bana kato sapangka, dengan membuat tradisi tanding ”Caro Olo”.

Dilema mewacanakan minangkabaunisasi
Di sisi lain, etnis Nias tidak bisa mengelak dari intervensi wacana Minangkabaunisasi yang marak melanda berbagai daerah di Sumatera Barat kini, sehingga mau tidak mau mereka mengalami perlawanan yang dilematis. Perlawanan ini tidak bersifat frontal atau kekerasan. Tapi ini disuarakan melalui lirik-lirik lirih karena mereka merasa tidak mempunyai kekuatan untuk melakukannya mengingat mereka sedikit dan pendatang pula. Namun, di dalam rasa lirik-lirik lirih perlawanan ini terselip harapan untuk tetap diterima, meski pada akhirnya justru terjadi pengukuhan identitas.

Suara lirik-lirik lirih itu disenandungkan dalam lirik lagu Anak Kanduang Anak Abak, Endong-Endong, Bunga Tanjung dan lainnya. Lagu Anak Kanduang Anak Abak, misalnya, beridekan tentang sistem patrilinial mereka yang seakan kurcaci di dalam raksasa matrilinial Minangkabau. Lirih didendangkan, anak kanduang anak abak// mari kito ka sawah// mamangkua mambajak// kito batanam padi//..// mari kito ka ladang// kito batanam pisang//..//mari kito ka parak//..//di tanam jaguang gerai”.

Secara sosio-kultural Nias, di ranah Minangkabau ini mereka tidaklah memiliki sawah, ladang dan parak, yang menjadi simbol kekayaan orang Minangkabau. Namun pengakuan mereka sebagai kemenakan di bawah lutuik—yang semestinya memiliki hak dalam sistem ulayat—jauh dari harapan, sehingga lirik ini juga menjadi media pengukuhan diri mereka, sebagai pemegang tradisi patrilinial dalam syair, anak kanduang anak abak// mari kito ka  sawah.

Begitu juga dengan lirik lagu yang terdapat pada Sarunai Aceh, pada lirik lagu ini terlihat menduanya hati orang Nias antara menguatkan tradisi sendiri dengan mengagungkan budaya Minangkabau. Jika dilihat kembali lirik lagu Anak Kanduang Anak Abak, orang Nias mengemukakan budayanya. Namun, di Sarunai Aceh jiwa Minangkabau tersemayam diratok bathin sebagai perantau yang tak dianggap dilingkungannya.

Sebagai etnis penganut patrilokal yang semestinya mengadu kepada bapak seperti tersirat di lirik Anak Kandang Anak Abak, namun warna lain lahir di lirik Sarunai Aceh, pengaduan akan nasib dan susahnya hidup dipanahkan kepada ibu; maratok denai di tangah malam// yo sansai// takana jo untuang ko mak// parasaian//..// ketek marasai gadanglah sansai// ketek marasai gadanglah sansai// yo malang// baitulah nasib ko mak// untuang den surang.

***
Lirik lagu yang bertemakan dua hal di atas tentu banyak lagi. Namun pastinya lirik itu menjadi media eksistensi diri etnis Nias di tengah tekanan etnis Minangkabau. lirik-lirik gamad menjadi media penyampaian keinginan-keinginan orang Nias terhadap Masyarakat Minangkabau. Semestinya juga gamad dipahami orang Minangkabau sebagai media penerimaan karena tidak ada pentingnya mengemukakan ego etnisitas. Anggapan etnis Nias sebagai etnis urban pinggiran, masyarakat penghuni pinggir bukit semestinya dapat dikalahkan oleh alunan dendang gamad yang lirik dan alat musiknya bercirikan musik etnis Minang.

Satu lagi yang mesti dipahami, orang Niaslah pada awalnya yang membangun Padang sebagai nadi modernitas orang Minangkabau. Namun, kini mereka berada di pinggiran bukit. Ditambah, selain sebagai dukun dan musik gamad, timbul pemaknaan baru terhadap etnis Nias, yakni anak dan amak jalanan. Di jalan-jalan kota banyak berkeliaran pengamen-pengamen cilik yang berasal dari etnis ini.

Maka dari itu, perbedaan dan kesenjangan ini semestinya dapat terleburkan oleh gaung irama gamad yang dilantunkan. Seperti niatan hati orang Nias yang ternadakan juga dalam lirik lagu Bunga Tanjung, di mana ada harapan mendapat sedikit ruang di ranah hati orang Minang. Terdendangkanlah dengan lirih, harum baunya si bungalah tanjung//..// harumnya sampai melintasi gunung//..//tuan ku harap umpama payung//..//hujan dan panas tempat berlindung. [bila anda suka artikel ini mohon diklik salah satu iklannya. Gratis dan sangat membantu penulis]

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komen dan kunjungannya