Bismillah Blog disusun

Antah sapek antah bawa, ramo-ramo di dalam gantang, talatak di rumpun dama, antah sasek antah gawa, blog alah lamo indak dikambang, asa di tuan ka nan bana.

Salawek pada Nabi

Oi Tuan jaweklah salam, salam takzim dari kami, mulo blog ka disabutik.

Mako kaji ka dikambang, lapiaklah didudukan rang nan tibo

Kayu kalek di tapi jurang, di baliak rimbo ruku-ruku, ditabang mako diruntuahkan, aka singkek pandapek kurang, pangalaman nan balun samiang kuku, kok salah dalam manulis minta dimaafkan.

Duo tangan tarantang, tigo juo kapalo

Palupuah tadia nan dibantang, puti batanun suto perak, sungguah blog nanko nan dikambang, samoga menjadi palajaran jo ambo dan urang banyak.

Selo diarak, tangan diapik di dado

Luruih jalan ka Padangpanjang, ka kida jalan Pandaisikek, bakelok lalu Batupalano, jikok dirantang namuah panjang, elok dikumpa dipasingkek, diambiak sado nan paguno. Tarima kasih alah datang.

Wednesday, October 24, 2012

Dua Kuasa Dapur

oleh: Novi Yulia [mandeh_denai@yahoo.com]


Dapur bagi sebagian orang adalah tempat memasak. Tak salah memang, di dapur ibu-ibu atau anak perempuan mengolah bahan makanan untuk disajikan di ruang makan di kala pagi, siang, atau malam. Dapur dalam konteks ini menjadi bagian dari wilayah domestik, yang kadang kala diimbuhi konotasi negatif; perempuan tinggi-tinggi sekolah, akhirnya ke dapur juga, atau tugas perempuan ya dapur-sumur-kasur. Satu stigma patriarki nan menyesatkan.

Dari sisi lokasi, dapur berada dalam posisi marginal. Biasanya dapur dibangun di bagian belakang rumah, berdekatan dengan jamban. Posisi ini menempatkannya sebagai pelengkap rumah, bukan inti kehidupan rumah tangga.

Stigma-stigma akan dapur sebagai locus pengetatan ruang interaksi perempuan dan marginalisasi letak serta perannya, menegasikan dapur sebagai titik penting keberadaan kuasa-kuasanya yang bak pepatah bagai si bisu barasian; ada dalam ketiadaan. Kuasa-kuasa itu tenggelam di bawah ambang batas sadar “peradaban” kita yang paternalistik, yang cenderung menafikan kesederhanan bentuk, tapi sesungguhnya memiliki deposit dan potensi nilai serta makna dalam kehidupan.

Kuasa budaya
Pertama, dapur memiliki kuasa budaya. Khusus di Minangkabau—penulis tak tahu pasti bagaimana di etnis lain—dapur merupakan wilayah oikumene, pusat peradaban, tempat transmisi keminangkabauan digodok serta ditebar.

Sebagai masyarakat dengan tradisi matrilineal, dapur dalam rumah gadang tak ubahnya ruang oval, kantor pribadi kepresidenan di AS sana. Segala hal didiskusikan dan diputuskan di dapur, meski peran balai adat senantiasa ditonjolkan sebagai pusat kekuasaan. Setidaknya ada tiga eksponen penting dari eksistensi kuasa budaya dapur ini.

Satu, dalam hal helat perkawinan. Adalah benar bahwa ninik mamak penentu dengan siapa anak kemenakan dikawinkan. Tak salah juga bila di ruang tengah rumah gadang diadakan menghitung hari pernikahan. Tetapi proses itu tak lebih dari “prosedur legal” semata, dimana sebelumnya telah diputus di dapur oleh ibu-ibu. Merekalah yang lebih dulu berembuk dan memutuskan, karena jika helat pernikahan itu dilaksanakan, maka ruang dapur mereka menjadi tempat paling vital. Bila ada makanan adat nan tak terhidangkan, garam yang terlalu banyak, atau sambal yang terlalu pedas, hendak kemana malu para engku-engku datuk disurukan? Dalam realitas inilah, di beberapa tempat, para ninik mamak sebelum memutuskan akan berteriak di ruang tengah rumah gadang dan ditujukan ke ibu-ibu yang bergerombol di dapur mendengarkan sambil tertawa cekikan atau malah sering mereka manyolo, menyela.

“Ba a induak-induak!? Lai satuju jo isi rapek ko ndak? (bagaimana ibu-ibu? Ada setuju dengan isi rapat ini?”

“Lai...tapi usul kami rancaknyo model iko...(setuju, tapi usul kami bagusnya seperti ini)”
Demikianlah, dalam lanjutannya akan terjadi dialog, negosiasi, dan mediasi antara ruang tengah rumah gadang dengan ruang dapur. Interaksi keduanya pada akhirnya mesti menemukan titik temu. Jika tidak terjadi, tentu helat pernikahan anak kemenakan mereka diundur. Dan tak jarang memang kuasa dapurlah yang menang, karena ibarat sindiran kaum patriarkis; jika berdebat dengan perempuan itu sulit karena mulutnya dua. Entah apa maksud mereka.

Dua, memformasi makna atas kiasan-kiasan yang berasal dari produk dapur. Dalam tradisi lisan Minangkabau, tak gejala alam semata yang menjadi sampiran kiasan, seperti alam takambang jadi guru atau sekali air bah sekali tepian berubah. Kita dapat juga menemukan kias “lamang tapai”. Kias ini diumpamakan laki-laki dan perempuan dalam budaya Minangkabau. Selain itu dalam budaya Minangkabau lamang dan tapai merupakan makanan yang dibawa menantu ke rumah mertua pada hari raya Idul Adha atau pada saat menghantar pabukoan pada bulan Ramadhan di beberapa daerah di Minangkabau. Lamang dimakan dengan tapai. Tidak lazim bagi masyarakat Minangkabau memakan lamang tanpa tapai atau sebaliknya. Melalui lemang tepai ini juga komunikasi menantu dan mertua terjalin. Rasa lemang tepai yang diberikan menantu kepada mertua mewakili pesan menatu kepada mertua terkait perangai anaknya. Sehingga si mertua bisa menasehati anaknya jika lemang tepai yang dibawa menantunya kurang manis atau terlalu asam.

Tiga, transmisi masalah seksual. Salah seorang peneliti asing mengajukan pertanyaan penting, terkait masalah seks di rumah gadang. Bagaimana proses edukasi seksual ditransfer dalam interaksi yang serba tabu kepada gadis-gadis Minang yang beranjak dewasa atau akan menikah. Siapakah aktor transmisi itu? Mamakkah, ayahkah, atau ibu? Dan dimana proses itu dilakukan.

Pada masyarakat Minang lampau, dapur menjadi tempat penting proses transmisi itu. Ketabuan persoalan seks/ kelamin dalam masyarakat mendorong masyarakat, terutama kaum ibu membicangkannya di wilayah mereka sendiri, dapur. Di dapurlah perempuan-perempuan muda atau akan menikah itu mendapatkan kursus singkat soal seks dan rumah tangga.

Biasanya, penyampaian itu dilakukan lewat gurauan atau diam-diam dipanggil oleh yang tua. Mereka menggunakan media analogi atas sesuatu yang berkaitan dengan malam pertama, perlakukan pada suami ketika pulang, dan hal-hal spesifik lain. Riuh diselingi canda tawa nakal, yang disambut senyum-senyum malu si calon anak daro ketika persoalan ini dibicarakan di dapur.

Kuasa kapitalisme
Kedua, kuasa kapitalisme lewat menjamurnya rumah makan atau restoran siap saji seperti KFC, CFC, Texas Fried Chiken, Pizza Hut, dan sejenisnya. Keberadaan francaise ini menunjukan kuasa kedua dari dapur. Pada tataran kontemporer, dapur tak lagi bagian dari wilayah domestik, tapi juga ruang publik. Dulu dapur cuma diperuntukan bagi anak perempuan. Sekarang dapur bahkan masuk tivi lewat acara masak-memasak dengan pemasukan ratusan juta rupiah lewat iklan.

Pada warga urban, kuasa kapitalisme dapur bermetamorfosis pada tradisi kuliner. Mereka mengunjungi tempat-tempat makanan enak dengan tata ruang dapur yang dapat mereka lihat sendiri, dan menjadi bagian identitas baru. Dapur dan produknya tak lagi menjadi sampiran dan sampingan kehidupan di rumah tangga. Ia justru meloncat jauh ke depan. Mewarnai sekaligus menggarami kehidupan warga urban, utamanya dan tampaknya perlahan menuju dan mulai mendobrak wilayah rural yang domestikis, yang ditandai berdirinya restoran siap saji di pinggir-pinggir kota.

Dalam kuasa kapitalismenya, dapur memang mengubah konturnya secara fisik dan relasi. Restoran Jepang, misalnya, yang ketika orang memasukinya langsung bertemu dapurnya, menyantapnya langsung dari penggorengan atau meja dapur, sekaligus salah satu tempat melobi rekanan bisnis.

Begitu juga pada acara tivi masak-memasak yang terkenal dengan istilah chef, ahli memasak atau acara kuliner. Setiap akhir pekan, tivi berlomba-lomba menayangkan produk-produk dapur menggugah selera penonton. Lihat saja acara “Ala Chef”, “Kuliner Lebay”, “Kungfu Chef”, “Wisata Kuliner”, dan banyak lagi. Semuanya menunjukan kuasa kapitalisme dapur yang telah menjadi wilayah publik.

***
Zaman memiliki logikanya sendiri mengajarkan pelbagai pengetahuan pada anak-anaknya. Jika zaman lampau dapur menjadi wilayah domestik sekaligus wahana tranmisi edukasi hal yang tabu. Maka masa kini dapur menjadi lahan-lahan komersil, serta memutus proses edukasinya lewat media yang lebih vulgar dan menghancurkan.

Meskipun demikian, satu hal patut dirembukan kembali adalah stigma dapur sebagai wilayah terpencil dan marginal. Kuasa budaya, dan kuasa kapitalisme sesungguhnya bagian kecil dari kuasa-kuasa lain dari dapur yang patut ditelaah lebih jauh. Bukan untuk melawan satu arogansi pemikiran, tapi membuka alternatif kebijaksanaan, terutama pada relasi keperempuanan yang senantiasi dimarginalisasi.
* Novi Yulia, alumni Jurusan Sastra Daerah Minangakabau, Universitas Andalas.

Monday, October 15, 2012

Naskah Fiqh Perempuan II


Fiqh Cinta untuk Malai
Naskah “Fiqh Perempuan” Syech Abdurrahman tidak bisa dilepaskan dari situasi sosial-budaya yang mengitari kelahirannya. Untuk itu bisa dijelaskan bahwa naskah “Fiqh Perempuan” ini dipengaruhi oleh dua hal; pertama, secara struktural, kedua, secara kultural.

Sejak abad ke-19 tekanan kolonial belanda terhadap umat Islam Minangkabau secara politik dan ekonomi sangat kuat. Di sisi lain, ide-ide pembaharuan keagamaan di segala bidang semakin gencar masuk ke Minangkabau.

Kondisi ini secara perlahan telah mengubah sistem keluarga batih ke sistem keluarga inti. Proses ini, menurut Taufik Abdullah, memperlemah hubungan mamak kemenakan yang dalam sisitem kekerabatan matrilinial Minangkabau merupakan salah satu aspek penting. Dalam kelurga inti perantau, setahap demi setahap ayah mengambil peran mamak yang selama ini bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Pengalihan tanggung jawab anak-anak dari mamak kepada ayah ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap kehidupan surau.

Naskah Fiqh Perempuan ini merupakan hasil dari perubahan yang terjadi di Minangkabau. Syeh Abdurrahman, mengambil alih peran saudara laki-laki istrinya dalam mendidik anak dan keluarganya. Naskah Fiqh Perempuan ini diperuntukan bagi anak dan istrinya.

Namun, sulit untuk menelusuri dasar-dasar pemikiran dan tahun lahirnya naskah “fiqh perempuan” ini. Dalam kitab “fiqh perempuan” ini pun tidak dapat ditemukan kapan ditulis atau diakhiri sebagaimana sering ditemukan dalam naskah-naskah klasik Minangkabau lainnya, misalnya, Syair Syech Sunur. Namun dari sejumlah data-data yang ditemukan di lapangan, kemungkinan naskah ini ditulis ketika istrinya, Malai menunaikan haji ke Makkah. Tampaknya Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi berusaha memberikan bimbingan praktis kepada sang istri.

Pada tahun 1337 H/1917 M Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi menunaikan haji terakhirnya bersama istri tercinta Siti Malai dan anak perempuannya Ummy Asiah. Jadi sebelum keberangkatan itu naskah fiqh perempuan ini sudah terlebih dahulu diajarkan beliau kepada istri dan anak perempuannya. Naskah ini juga menjadi acuan bagi perempuan-perempuan Minangkabau daerah Pesisir Pantai Barat yang naik haji. Karena Syech Abdurrahman juga bertugas sebagai kepala jamaah haji di kawasan tersebut.

Dalam naskah Fiqh Perempuan ini Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi menulis beberapa permasalahan haji bagi perempuan, yaitu tawaf, sai, ihram, dan dua adab berhias bagi perempuan yang menunaikan haji.

Syech Abdurrahman menulis bahwa tawaf dengan kebaikan dan membaca do’a dihantarkan kedua tangan. Selain itu, dia juga menjelaskan apa itu sai dan wukuf dan bermalam di Mina merupakan rukun dari pada rukun haji. Dalam hal melontar jumrah dilakukan tujuh kali, harus dalam keadaan yakin menggunakan kedua tangannya. Tidak boleh menggunakan kaki karena menggunakan kaki berarti menghina akan sesuatu. Hendaklah mengunakan batu yang suci, besar batu itu kira-kira sebesar biji kacang polong. Sunat jika mambasuh batu itu. Wajib dam bila kekurangan melontar atau mengulang kembalai melontar pada hari tasrik berikutnya.

Dalam kitabnya ini Syech Abdurrahman menjelaskan dua adab penting bagi perempuan, yakni berhias dan berpakaian yang pantas. Dalam hal berhias, ia menjelaskan bahwa Tiada haram bagi perempuan memakai kain yang berwarna. Salahlah jika memakai kain yang ada baunya. Haram memakai haruman kebadan dan kepakaian. Tidak haram mencium baun air mawar dan kasturi.

Sementara untuk berpakaian, Syech Abdurrahman menjelaskan, wajib bagi perempuan menutup auratnya. Jika tidak, lebih baik dia menyelam ke dalam air yang kumuh sekalipun, maka yang sekalian tersebut tidaklah haram. Tidak haram bagi perempuan menutup kepalanya karena akan menjaganya dari panas atau dingin atau karena mengobati luka pada kepalanya. Janganlah menutup muka saat ihram dan jika ditutup maka wajiblah membayar fidiyah. Selain itu, haram baginya mencabut sehelai rambut atau bulu mata, untuk menghias walaupun menggunakan minyak zaitun. Wajib atasnya dam dan makruh baginya menggaruk rambutnya dengan kukunya.

Awal abad ke-20 mulai terjadi perubahan pendidikan surau kepada pendidikan pesantren atau sekolah umum seiring kemunculan gerakan pemikiran Islam yang dipelopori oleh Haji Abdul Karim Amrulah (Haji Rasul), Abdullah Ahmad, Zainudin Labai dan banyak lagi. Sistem halaqah tidak dipakai lagi. Masyarakat mulai menganggap pendidikan ilmu penegetahuan umum dan teknologi lebih penting dari pada ilmu agama dan adat. Zainuddin Labai, salah seorang ulama muda yang terpandai dan murid dari Haji Rasul, menjadikan sekolah pemerintah (kolonial Belanda) sebagai model untuk sekolah agama dasarnya sendiri. Sekolah tersebut adalah sekolah Diniyah, bahkan di sekolah ini pun diperbolehkan perempuan mengikutinya.

Selain itu, wafatnya Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi pada tahun 1923 M menjadi simbol keterpurukan surau seiring makin menguatnya gerakan Kaum Muda di awal abad ke-20 ini. Gerakan ini secara garis besar lebih banyak menggunakan buku-buku rujukan dari pemikiran Muhammad Abduh dan Jalaludin Al Afghani yang secara jelas menganjurkan sebuah modernisme Islam. Para pembaru tahun ini juga menganjurkan sebuah pencapaian umat yang linear dengan Barat. Secara perlahan tapi pasti, surau mulai ditinggalkan dan naskah tidak lagi dijadikan rujukan dalam pengajaran. Pendidikan pesantren memakai buku-buku dari Arab, sehingga, naskah-naskah mengalami kehancuran dan banyak yang dibeli dan diambil oleh para peneliti luar negeri seperti Malaysia.

Pengalihbahasaan yang telah dilakukan terhadap naskah Fiqh Perempuan Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi ditemukan bahwa kitab ini lebih banyak memfokuskan terhadap persoalan haji bagi perempuan. Tampaknya bagi Syech Abdurrahman, penulisan kitab khusus tentang fiqh perempuan ini diperlukan ketika tingginya para perempuan Pariaman menunaikan rukun Islam kelima ke Makkah.

Namun kajian lebih lanjut terhadap karya dan pribadi Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi sangat dibutuhkan dan belum ada yang menulisnya secara tuntas, termasuk puluhan karyanya yang lain. Saat ini para peneliti Islam dan naskah di Sumatera Barat terlalu menitikberatkan pada ulama-ulama surau di wilayah sekitar Ulakan, atau yang terkait dengan Syech Burhanuddin Ulakan. Maka dari itu, penelitian ini bisa dijadikan pijakan awal bagi penelitian lebih lanjut menyangkut naskah-naskah atau manuskrip Syech Bintungan Tinggi dan perannya dalam sejarah dinamika Islam di Sumatera Barat.

Abdurrahman; Syech Bintungan Tinggi Pariaman


Pada abad ke-19 masyarakat Minangkabau masih menganut substratum kepercayaan animistik. Masyarakat percaya kepada roh-roh. Segala kejadian pada masyarakat dikaitkan dengan keberadaan kekuatan roh, kepada dukun atau pawang masyarakat biasanya meminta perlindungan dari marabahaya. Dukun atau pawang adalah orang yang memiliki kekuatan dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan roh. Kepercayaan ini mulai memudar seiring masuknya Islam pada abad ke-16 melalui Tiku, pelabuhan utama di Pantai Barat, kemudian ke Ulakan.

Pada tahun 1070 H Islam mengalami perkembangan yang pesat seiring kepulangan Syech Burhanuddin dari Aceh. Syech Burhanuddin mengembangkan agama Islam di Minangkabau dan memusatkannya di Ulakan.

Ulakan terletak ditepi pantai samudera Indonesia. Nagari ini berbatas: sebelah Utara dengan kecamatan Nan Sabaris; sebelah Selatan dengan kecamatan Batang Anai; sebelah Barat dengan Samudra Indonesia; sebelah Timur dengan kecamatan Perwakilan Lubuk Alung dan Sintuk. Sekarang nagari Ulakan termasuk ke dalam wilayah kecamatan Ulakan Tapakis yang terdiri dari 12 desa. Ulakan merupakan daerah penting dalam sejarah Islamisasi di Minangkabau.

Sejak paroh pertama abad  ke-17 Ulakan sudah menjadi pusat penyebaran Islam di rantau Pesisir Minangkabau yang dipimpin oleh Syech Burhanuddin atau Tuanku Ulakan. Pengaruh Ulakan dan Syech Burhanuddin sangat kuat terhadap perkembagan Islam di Minangkabau khususnya di Bintuangan Tinggi. Sampai sekarang masih diungkapkan masyarakat ungkapan yang berbunyi “Salareh Sunua Kurai Taji, Pauah Kamba jo bintuang Tinggi, pucuak bajampuan di Ulakan”.

Artinya bahwa Ulakan merupakan pusat perkembangan Islam dengan mulai berkembang ke daerah Sunua Kurai Taji, Pauah Kamba dan Bintungan Tinggi, dan berlanjut ke daerah-daerah lain di Minangkabau, seperti Padang dengan surau Batang Kabung Tabing dan surau Paseban. Desa Bintungan Tinggi, tempat tinggal dan hidup Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi termasuk ke dalam wilayah administrasi kecamatan Nan Sabaris Nagari Padang Bintungan.

Salah satu manuskrip yang ditulis oleh ahli waris sang Syech menyebutkan bahwa ranji ilmu dan keturunan Syech Abdurrahman ditelusuri dari Syech Burhanuddin Ulakan. Salah seorang murid dari ulama yang belajar agama kepada Syech Burhanuddin Ulakan adalah Syech Tabad Yada. Beliau merupakan kakek dari Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi. Syech Abdurrahman lahir pada tahun 1243 H atau 1827 M. Beliau meninggal pada tanggal 17 Rabiul-awal tahun 1342 H atau 1923 M. Ayahnya bernama Syech Ibnu Muttaqin dan ibunya bernama Pik Manah bersuku Sikumbang.

Semasa hidupnya Syech Abdurrahman menjadi panutan bagi masyarakat Bintungan Tinggi. Ketika masyarakat Bintungan Tinggi mengalami bencana seperti padi di sawah mereka dimakan tikus maka, mereka akan melakukan tolak bala. Kegiatannya dimulai dari pintu gobah atau kuburan Syech Abdurrahman, selanjutnya berputar mengelilingi kampung sambil berzikir. Sampai saat ini pun masyarakat masih percaya jika ada getaran di gobah Syech Abdurrahman maka akan terjadi sesuatu yang tidak baik. Misalnya, ada salah seorang anggota kaum yang akan meninggal atau bencana lainnya. [Bila anda suka dengan artikel ini silahkan klik salah satu iklan di halaman depan. Gratis dan sangat membantu update blog ini. Terima kasih]

Sunday, October 14, 2012

Naskah Fiqh Perempuan Minang


Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah merupakan falsafah hidup masyarakat Minangkabau. Artinya, mereka menjalankan kehidupan dengan berpedoman kepada ajaran agama Islam (religius) dan konfensional adat (cultural). Adat mengatur tentang hablumminannas dan agama mengatur tentang hablumminallah. Dalam hal agama ulama merupakan tokoh penting yang sangat berperan dalam perkembangan agama Islam di Minangkabau.

Melihat sejarah perkembangan Islam dan ulama di Minangkabau tidak bisa dilepaskan dari karya-karya yang dihasilkannya, yaitu berupa naskah atau manuskrip. Karya-karya ini juga telah menambah tradisi di Minangkabau. Dahulu Minangkabau dikenal dengan tradisi lisan melalui kaba, rabab, dendang, petatah-petitih dan lainnya. Sekarang Minangkabau mulai dikenal dengan tradisi tulisnya. Tidak hanya Indonesia, masyarakat luar negri pun sudah mengenalnya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya manuskrip-manuskrip itu yang dibawa keluar negri.

Pengertian manuskrip dalam ilmu filologi adalah karya sastra kuno yang ditulis dengan tangan. Sedangkan filologi adalah ilmu yang mempelajari naskah-naskah lama beserta isinya. Kegiatan menulis dan menyalin naskah-naskah banyak ditemukan di daerah Darek—pedalaman Sumatera Barat, Rantau, maupun di daerah Pesisir.

Tradisi penulisan dan penyalinan naskah ini dilakukan dalam rangka membumikan khasanah keilmuan yang terkait dengan ajaran agama Islam dan adat istiadat. Naskah-naskah tersebut banyak menggunakan tulisan arab dalam bahasa arab, dan menggunakan tulisan Arab-Melayu ejaan bahasa melayu.

Penggunaan penulisan itu disebut dengan tradisi manuskrip. Dengan kata lain manuskrip merupakan penulisan sesuatu secara manual atau menggunakan tangan, tanpa bantuan teknologi yang canggih.

Setelah dilakukan penelusuran, ternyata manuskrip-manuskrip ini biasanya disimpan pada suatu tempat yang disebut dengan skriptorium. Skriptorium dapat berupa rumah para kolektor atau milik pribadi, museum, sekolah-sekolah keagamaan, dan skriptorium yang paling sering dijumpai di Sumatera Barat adalah di surau.

Di surau inilah tempat dilangsungkan proses pentransformasian ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu sosial oleh masyarakat Minangkabau. Para guru-guru di sebuah surau biasanya memperoleh naskah atau manuskrip-manuskrip itu dari gurunya yang terdahulu, dan ditulis oleh para guru atau tetua-tetua yang ada di surau tersebut.

Secara umum, manuskrip-manuskrip tersebut lebih banyak membahas ajaran tarekat Syattariyah, Sammaniyah, dan Naksyabandiyah. Penulisan-penulisan itu dilakukan selain sebagai aset penyimpanan ide intelektual kaum surau, juga bertujuan agar keilmuan itu dapat ditransformasikan kepada generasi selanjutnya dalam bentuk bacaan.

Dewasa ini perhatian masyarakat Minangkabau sangat kurang sekali terhadap keberadaan manuskrip-manuskrip tersebut. Padahal manuskrip-manuskrip tersebut merupakan salah satu aset intelektual yang sangat berharga. Perhatian terhadap kekayaan khasanah intelektual dan budaya Minangkabau itu ternyata lebih banyak dilakukan oleh masyarakat di luar Minangkabau bahkan lebih banyak diminati oleh masyarakat luar negeri, seperti Belanda, Inggris, Malaysia, dan negara-negara lainnya.

Saat ini terdapat 261 manuskrip Minangkabau yang berada di negeri orang, diantaranya, 255 naskah disimpan di perpustakaan Universitas Leiden dan 6 naskah disimpan di perpustakaan KITLV; di Inggris terdapat 12 naskah; 5 naskah disimpan di Jhon Rylands University Library Manchester dan 7 naskah disimpan di SOAS, dan 1 kumpulan manuskrip di Malaysia. Selain itu hanya 78 manuskrip berada di Indonesia yakni di perpustakaan Nasional Jakarta, dan di tangan masyarakat Minangkabau sendiri. Naskah-naskah yang dimiliki masyarakat Minangkabau itu merupakan koleksi pribadi, maupun sebagai koleksi lembaga resmi seperti museum dan lembaga tidak resmi berupa surau.

Naskah-naskah yang berada ditangan masyarakat itupun tidak mendapatkan perawatan yang baik. Banyak naskah ditemukan sudah dalam keadaan rusak. Bercerai-berai dari kurasnya dan bolong-bolong karena dimakan rayap. Terutama pada naskah-naskah yang terdapat di surau-surau yang kurang atau belum diketahui oleh para filolog. Naskah-naskah di surau Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi misalnya

Selama ini para peneliti dan filolog lebih banyak memusatkan perhatian kepada naskah-naskah yang ada di surau Syech Burhanuddin Ulakan. Para filolog lebih banyak mempublikasikan naskah-naskah hasil temuannya di surau Syech Burhanuddin Ulakan kepada masyarakat. Sehingga, masyarakat umum lebih banyak mengikuti ajaran Syech Burhanuddin. Padahal masih banyak ajaran ulama-ulama Sumatera Barat lainnya yang dapat dijadikan acuan dalam beribadah. Salah satunya adalah ajaran-ajaran Syech Abdurrahman yang terdapat dalam naskah-naskahnya.

Suatu kondisi yang sangat memprihatinkan sekali, karena naskah yang merupakan aset kekayaan keilmuan Minangkabau tidak dijaga dan banyak berada di luar negeri. Mereka menggunakannya untuk kepentingan keilmuan mereka sendiri. Naskah-naskah atau manuskrip Minangkabau ini sebagian besar berisikan tentang keagamaan, filsafat, sejarah, kesusastraan, persoalan-persoalan adat istiadat, perundang-undangan, perjanjian, dan sebagainya. Dalam naskah tentang keagamaan diantaranya terdapat naskah-naskah yang mengatur dan menjelaskan tentang“Fiqh Perempuan”.

Naskah “Fiqh Perempuan” merupakan salah satu dari banyak naskah keagamaan yang belum mendapat perhatian dari para filolog karena baru saja ditemukan. Naskah Fiqh Perempuan tersebut dintaranya terdapat di Surau Bintuangan Tinggi, milik Syech Abdurrahman. Naskah itu sudah mengalami kerusakan-kerusakan karena dimakan rayap mengingat umurnya yang sudah ratusan tahun.

Naskah “Fiqh Perempuan” di Surau Bintuangan Tinggi menggunakan bahasa Arab-Melayu, dengan alihan halaman, mulai halaman 2 sampai dengan 306, halaman selanjutnya tanpa penomoran. Alas naskah memakai kertas eropa. Menggunakan Watermark CRESCENT. Terdiri dari 37 kuras; 1 kuras = 10 lembar. Dua kuras terakhir sudah hancur dimakan rayap sehingga tidak bisa dibaca lagi.

Naskah Fiqh Perempuan merupakan satu-satunya naskah fiqh yang membahas tentang perempuan yang ditemukan di kabupaten Padang Pariaman. Selain itu belum ada ditemukan naskah fiqh laki-laki. Maka kajian terhadap naskah ini sangat penting setidaknya untuk menjawab dan menjelaskan beberapa pertanyaan; pertama, apa substansi yang diuraikan dalam naskah figh perempuan?. Kedua, apa nilai-nilai sosio-kultural yang dikandung oleh naskah tersebut?. Ketiga, bagaimana latar belakang sejarah penulisan naskah fiqh perempuan? [Bila anda suka dengan artikel ini silahkan klik iklan di halaman depan. Gratis, dan sangat membantu update blog ini. Terima kasih]

Wednesday, October 10, 2012

Mengemas Tradisi Sosial Nan Tercecer

maninjau-mesjid-sastra-minang-modern-blogspot-dot-com
Dulu Minangkabau kental dengan seni dan tradisi lisannya. Kaba, petatah-petitih, pantun adalah contohnya. Ia sekaligus menjadi media pentransformasian keilmuan dan kearifan lokal dari generasi tua ke generasi muda. 

Setelah masuk dan berkembangnya agama Islam, tradisi lisan yang berkembang di Minangkabau telah digeser oleh tradisi tulis.  Para ulama mulai menuangkan semua ajaran dan faham mereka ke atas kertas. Kagiatan ini berlansung di surau-surau tradisional atau di surau-surau tarekat.

Kegiatan penulisan ini dilakukan dalam upaya membumikan ajaran dan pemikiran mereka agar isinya dapat dinikmati bahkan dipelajari oleh generasi jauh di depannya. Dengan demikinan ajaran itu tidak hilang dengan cepat secepat para guru itu di dunia ini.

Dua tradisi di atas telah memperkaya khasanah tradisi di Minangkabau. dan kedua-duanya sudah menjadi bagian masa lalu yang indah. Hanya bisa dibanggakan namun, tak dapat lagi dijumpai dengan mudah. Tradisi bakaba hilang seolah ditelan malam. 

Dendang tukang kaba serasa terngiang indah. Mendayu di ruang waktu. Ibarat kekasih yang pergi merantau, jauh di seberang lautan Hindia. Suaranya serasa sayup-sayup sampai, membuat kerinduan makin mendalam.  
Lain lagi dengan tradisi tulis. 

Penulisan yang dilakukan dengan bahasa Arab dan Arab Melayu, perlahan kehilangan rasa dan makna. Seiring perginya para guru dan generasi yang bisa membaca dua bahasa itu. Stagnannya perkambangan tradisi tulis ini terjadi setelah peristiwa pemberontakan PRRI tahun 1958

Pada saat itu para laki-laki banyak yang merantau atau mengungsi ke hutan-hutan untuk menghindari kekuatan kontrol negara. Pada periode inilah surau-surau sebagai tempat berkembangnya ajaran islam dan tradisi tulis ”roboh” satu persatu. Surau menjadi kosong.

Setelah pergolakan itu meredam dan selesai, para perantau membawa tradisi baru. Sebuah tradisi yang didapatnya di negri orang. Kebiasaan dan gaya hidup yang jauh berbeda dari tradisi Minangkabau. Orang menyebutnya dengan tradisi modern

Di mana segala faham berkiblatkan barat. Salah satunya adalah mengenai pemanfaatan teknologi. Mesin tik, selanjtnya kompoter, telah menggairahkan ”tradisi ketik”.

Sampai saat ini tradisi ketik menjadi populer dan sangat digemari. Untuk mengungkapkan rasa cinta pada kekasih hati saja, orang menggunakan ketikan. Baik melalui email, sms, dan sekarang berupa facebook. Cepat, tepat bahkan singkat. Tapi kita lupa dia gersang dari ”rasa”.

Tulisan ini tidak bermaksud membandingkan tradisi mana yang lebih baik. Toh semua tradisi ini muaranya untuk memperlancar hidupnya manusia. Namun, harapannya adalah ”kok dapek nan baru, nan lamo jan dilupokan”. Sekarang, mengapa kita tidak membongkar lagi nilai-nilai yang ada pada tradisi-tradisi yang pernah kita miliki itu. Karena tradisi yang dihidupi akan membangkitkan aura keberadaban suatu etnisnya. 

Sebutlah itu tradisi lisan bakaba. Dengan bakaba orang berusaha melakukan pengajaran dengan halus, menyindir menggunakan kato nan ampek sehingga setiap kata itu memiliki makna yang menusuk dan mengikis kekeliruan. Bakaba merupakan usaha memberi pembelajaran pada pendengar dari pengalaman hidup orang lain.

Begitu juga dengan petatah petitih atau pantun. Dalam menolak pinangan orang misalnya, dia tidak mesti mengatakan ”saya tidak mencintaimu atau saya tidak mau menikah denganmu”. Namun melalui pantun, kata-kata malereang lainnya, orang bisa paham bahwa maksud hatinya tidaklah hendak.  

Di berbagi negara dan etnis bangsa pada era sekarang sedang menggerakkan kemballi menggali kearifan lokal. Malaysia sebagi salah satu contohnya merupakan negara yang bernafsu besar dengan tradisi-tradisi yang akan ”memartabatkannya”. Semangatnya terbakar untuk memiliki kearifan dan kekayaan-kekayaan budaya. Mereka tahu dan sadar sepenuhnya bahwa yang kita anggap kuno itu berselimutkan kesepurnaan.

Geliat peduli tradisi juga terlihat di Tanjung Pinang, tempat lahirnya Gurindam Dua Belas karya Ali Haji. Ia menjadi salah satu ”negara rantau” yang cepat tanggap. Apalagi setelah adanya kleim-an Malaysia bahwa pantun berasal dari negaranya.   

Masyarakat dan pemerintah di Tanjung Pinang bekerja sama dan sama-sama bekerja memunguti kembali kearifan yang berceceran. Di segala ”ruang kata” mereka menggunakan pantun.  Brosus niaga, pembayaran pajak, iklan sampai kepada  himbauan memakai helm satandar mereka menggunakan pantu. Semangat ini iiringi dengan mengganti slogan kota Tanjung Pinang dengan ”Kota Gurindan Negeri Pantun”.

Nah, kita sebagai ”negara Minangkabau” yang masih dapat membuktikan kalau kita memiliki tradisi tulis dan tradisi lisan itu apakah akan berdiam diri saja?.  

Jangankan mengembangkan tradisi tulis dengan menggencarkan pembelajaran baca tulis Arab Melayu dan Bahasa Arab, mengemasi naskah-naskah hasil tradisi tulis itu saja kita masih enggan. Sehingga banyak naskah kita itu yang sudah hancur dimakan rayap seiring digrogoti usia. 

Besar kemungkinan naskah-naskah itu juga telah dilumat oleh kekuatan G30S (Gempa 30 September) kemaren. Apalagi daerah paling parah merupakan daerah pusat naskah, yakni Pariaman. Bila demikian, sudah sepantasnya nan tercecer dari tradisi kita yang banyak itu dikemasi. Semoga. [Bila anda suka artikel ini silahkan klik salah satu iklan diblog ini. Gratis dan sangat membantu update blog ini. Terima kasih]

Etnis Tionghoa di Kota Padang: Musik Gambang dalam Perubahan Sosial

Maninjau-sastra-minang-modern-blogspot-dot-com
Selama ini kita sering beranggapan bahwa masyarakat Tionghoa yang berada di kota Padang adalah masyarakat yang tertutup dan susah diajak bersosialisasi. Anggapan yang selama  ini telah tertanam di pikiran sebagian besar masyarakat Minangkabau sebagai masyarakat mayoritas ternyata tidak benar.

Pada kenyataannya etnis Tionghoa yang menetap di kawasan Padang Kota Lama ini merupakan masyarakat yang ramah. Bisa menerima orang-orang yang mau bergaul dan yang ingin bersilaturahmi. Mereka senang jika setiap malam sabtu orang-orang menyaksikan kesenian gambang mereka.

Senyum ramah menghiasi setiap wajah orang-orang Tionghoa dan para pemain gambang di gedung himpunan keluarga Lie-Kwee Long See Tong menyambut kami, mahasiswa Sastra Daerah fakultas Sastra Unand yang berkunjung ke sana pada hari sabtu tanggal 13 Juni. Kehangatan sambutan mereka semakin terasa ketika beberapa engkong-engkong menyajikan berbagai makanan kecil pengganjal perut, dengan harapan dapat menghangatkan tubuh di tengah hujan yang mendera kota Padang.

Kedatangan kami kali ini bertujuan melakukan kuliah lapangan pada mata kuliah Etnomusikologi yang diasuh oleh bapak khanizar Chan dan Bung Edi Utama, budayawan ternama Minangkabau.

Berdirinya himpunan keluarga Lie pada mulanya diawali oleh rasa saling membutuhkan. Adanya rasa senasib dan merasa mempunyai kepentingan yang sama di antara mereka sebagai perantau yang mencari peruntungan di Minangkabau. Untuk menjawab segala rasa itu mereka mengadakan pertemuan, setidaknya berkumpul di warung-warung kopi. Sampai pada akhirnya ada salah seorang anggota yang mengibahkan rumahnya untuk tempat pertemuan.

Selanjutnya, tempat yang telah ada ini diperbaiki dengan biaya iyuran para anggota. Saat ini gedung perkumpulan itu telah dibangun permanen.

Sejalan dengan usia perkumpulan ini maka banyak kegiatan yang telah diprakarsai. Mulai dari kongsi kematian yang bertujuan untuk menyelamatkan jenazah.  Tujuan himpuanan ini ternyata sangat mulia. Ia mampu meringankan beban keluarga yang sedang ditimpa musibah kematian. Apalagi biaya pemakaman pada etnis Tionghua  membutuhkan banyak dana. Tentunya tidak semua orang yang mampu memenuhi biaya yang begitu besar. Tradisi ini harapannya dapat menjadi tauladan bagi semua umat. Nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan diutamakan untuk mancapai persatuan dan kesejahteraan bersama.

Selanjutnya kaluarga Lie memiliki seni tradisi gambang. Seni tradisi gambang merupakan sebuah kesenian masyarakat etnis Tionghua yang sangat sakral bagi mereka karena kesenian ini memiliki misi dan tujuan kemanusiaan. dimainkan pada acara pernikahan dan penghibur para keluarga Tionghoa terutama keluarga Lie yang meninggal.

Gambang yang dimainkan pada saat kematian biasanya menyanyikan lagu-lagu yang bersifat belasungkawa. sedih. Dan yang tak kalah penting bertujuan menghibur keluarga yang mendapat musibah kematian tersebut. Sedangkan saat acara pernikahan, lagu-lagu yang didendangkan adalah lagu-lagu bahagia dan ada lagu ke_haru_an dari keluarga pihak perempuan.

Liriknya menyampaikan perasaan keluarga pihak perempuan dalam melepas anak perawannya menjadi istri dan menetap di keluarga pihak laki-laki karena sistem kekeluargaan yang mereka anut adalah sistem patrilineal yaitu garis keturunan ditarik dari pihak laki-laki. Maka setelah menikah seorang perempuan menetap di rumah pihak laki-laki.

Sebagaimana tujuan dari perhimpunan Lie, merupakan himpunan atau persatuan yang mengikat marga Lie dalam ikatan kekeluargaan sehingga apapun bentuk acara yang dihadapi selalu mereka sambut dengan musik gambang. Tentunya ini membuktikan bahwa masyarakat Tionghua adalah orang-orang yang tidak mau larut dalam kesedihan. walau dalam suasana berkabung mereka tetap bermusik, hal ini bukan berarti mengurangi kesakralan dan kekhitmatan suatu acara. Malahan bisa semakin meningkatkan kesakralannya.

Jadi himpunan ini berorientasi himpunan sosial dan bergerak dalam himpunan kematian. Yaitu sebuah organisasi yang megurus segala kepentingan terkait kematian.

Pada tahun 1995 himpunan kelurga Lie membentuk persatuan perempuan. Sampai saat ini jumlah anggotanya melebihi seratus orang. Menurut ibuk Heliyana 57 tahun yang menjabat sebagai ketua satu (1) perhimpunan perempuan keluarga Lie bahwa para anggota melakukan pertemuan sekali dalam sebulan.

Berbagai kegiatan yang diadakan bertujuan mencerdaskan perempuan marga Lie dengan berbagai pembekalan, layaknya ibuk-ibuk PKK bagi kita. Di antara kegiatan rutin yang dilakukan itu adalah masak-mamasak, membahas tentang kecantikan dan berbagai hal terkait dunia perempuan dan dunianya ibuk-ibuk. Untuk dewasa ini ibuk-ibuk keluarga lie mampu menyiapkan makanan jika ada acara di gedung Long See Tong. Ibuk Heliyana menjelaskan dengan semangatnya, tanda ia senang diwawancarai. Saat itu ia didampingi oleh ibuk Hatalia 50 tahun menjabat sebagai ketua dua (2) dan ibuk Lindawati 44 tahun, bendahara.

Pada awalnya masyarakat Tionghoa di kota Padang ini merupakan orang-orang Cina yang merantau, perantauan ini hanya di lakukan oleh kaum laki-laki saja. Tidak ada seorangpun perempuan yang ikut. Karena adanya kebutuhan mereka terhadap perempuan maka, banyak di antara mereka yang menikah dengan perempuan setempat/Minangkabau. Sehingga masyarakat Tionghoa ini mempercayai bahwa mereka bukanlah orang Cina seutuhnya, mereka adalah peranakan atau keturunan Cina.

Sebagaimana yang di kemukakan oleh bapak Arif Rusdi Rusli alias bapak Lie Hap Khiang bahwa mereka itu adalah Cina peranakan. “Lihatlah kulit kami! Tidak berbeda jauh dengan masyarakat Minangkabau, kuning langsat. Bukan putih seperti masyarakat Cina asli” kami ini lahir dan besar di Minangkabau, sebenarnya kami ini orang Minang karena etnis Tionghua itu menetap di Minangkabau ini sudah puluhan tahun bahkan abad namun karena bias politik dunia, kami ikut menggungnya” lanjut beliau.

Bapak Lie Hap Khiang juga memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap ranah Minang.
“Saya lahir dan besar di Minang, saya ini orang Minang” katanya meyakinkan penulis saat bertaya bagaimana perasaannya terhadap Minangkabau. Pengakuan beliau ini bukanlah kata-kata yang gersang makna, apa yang dikatakannya terlihat jelas saat ia menyanyikan lagu Minangkabau Tanah Pusako Bundo.

Lagu ini dinyanyikannya dengan penuh penghayatan, bait demi bait dilantunkan dengan jelas dan menyentuh. Biasnya meluluhkan perbedaan yang menjadi penghalang kebersamaan masyarakat Minangkabau dan Tionghoa selama ini. [Bila suka dengan artikel ini, silahkan klik salah satu iklan diblog ini. Gratis, dan sangat membantu update blog ini. Trima kasih]

Tuesday, October 9, 2012

Mamak dan Ponakan di Minangkabau


mamak-bukittinggi-sastra-minang-modern-blogspot-dot-com
Mamak adalah sosok pertama yang menentukan masa depan kemenakan, bahkan mamak juga yang menentukan jodoh bagi kemenakannya. Mamak dalam masyarakat Minangkabau digambarkan sebagai:

nan gadang basa batuah,
nan gadang dek anak kamanakan
basa dek cupak jo gantang
tuah dek adaik jo pusako
ka pai tampek batanyo
ka pulang bakeh babarito
ka bukik indak barangin
ka lurah pantang bariak,
walau bak mano kareh angin
nan bana yo asak indak

(yang besar basa bertuah
besarnya karena anak kemenakan
besar karena cupak dengan gantang
tuah karena adat dan pusaka
akan pergi tempat bertanya
pulang tempat berberita
ke bukit tidak berangin
ke lurah pantang beriak
walau bagaimana keras angin
yang benar dipindahkan tidak)

Ada lima macam kemenakan yang menjadi tanggungan mamak (Toeah, 1989: 79-81). Pertama, kemenakan bertali darah, yaitu kemenakan-kemenakan yang segaris keturunan dengan dia. Mereka adalah anak-anak dari saudara perempuan seibunya. Kemenakan setali darah memiliki hak dalam menggarap harta pusaka dan menerima waris gelar sako, terutama dalam garis keturunan Perpatih Nan Sebatang.

Kedua, kemenakan bertali emas, yaitu seseorang yang diangkat menjadi kemenakan kerena berhutang budi. Ia tidak bisa menerima harta pusaka kecuali harta pribadi yang diwariskan kepadanya.

Ketiga, kemenakan bertali akar, kemenakan ini berasal dari garis keturunan jauh atau satu nenek moyang dalam suku. Kemenakan ini bisa menggarap harta pusaka jika kaum terdekat mamak sudah punah.

Keempat, adalah kemenakan bertali budi, yaitu kemenakan angkat, biasanya ia adalah pendatang yang meminta perlindungan dari seorang mamak.

Kelima, adalah kemenakan bertali perak atau kemenakan bertali aia. Hubungan ini terjalin karena persahabatan atau perkenalan dekat yang setiap saat bisa ungkai. Kemenakan ini bisa mengelola harta, selama mendapat restu oleh tuan tanah namun tidak untuk memiliki.

Mamak dan kemenakan menjalankan interaksi diagonal. Mamak memiliki hak untuk berlaku tegas dan langsung dalam mendidik kemenakannya. Hal itu dilakukan untuk menyiapkan kemenakan-kemenakannya memiliki mental pemimpin, dan siap pula menjadi mamak setelah ia dewasa nanti.

Walau demikian, mamak tidak boleh berbuat sewenang-wenang, karena dialah yang menjadi pemelihara kekompakan dalam rumah gadang. Selain itu, mamak juga harus menjaga dan menambah harta pusaka yang ditinggalkan nenek moyang.

Namun, mamak tidak bisa menjual harta itu untuk kepentingannya, kecuali terjadi empat hal, yaitu rumah gadang katirisan, gadih gadang  alun balaki, mayik tabujua di tangah rumah, mambangkik batang tarandam, (rumah gadang kebocoran, gadis dewasa belum bersuami, mayat terbujur di tengah rumah, membangkit batang terandam). [Bila suka artikel ini, silahkan klik salah satu iklan didalam blog. Gratis, dan sangat membantu update blog ini. Terima kasih.]

Monday, October 8, 2012

Orde Baru, PRRI, dan Perubahan Sosial di Minangkabau


Dalam masyarakat Minangkabau, perubahan sosial-budaya merupakan bagian dari dinamika kehidupannya. Mereka memiliki konsep adat yang jelas mengenai perubahan ini, yakni dalam mamangan adat: sakalia aia gadang, sakali tapian barubah (ketika air bah datang, ketika itulah tepian bergeser). Maka dari itu, pergeseran atau perubahan secara struktural dan kultural dalam kehidupan masyarakat Minangkabau dalam mamangan ini merupakan sebuah sunnahtullah atau adat nan sabanan adat.

Dalam biografi Harun Zein dinyatakan, pertama, berakhirnya PRRI di tahun 1960-an merupakan masa penting menyangkut eksistensi orang Minangkabau. Banyak pemuka adat, agama, dan laki-laki dewasa Minangkabau yang tidak tahan terhadap tekanan dan intimidasi PKI. Tekanan itu terutama terhadap tindakan sewenang-wenang OPR (Operasi Perlawanan Rakyat) di kampung-kampung, bahkan tekanan itu masih dirasakan oleh rakyat setelah adanya amnesti dan abolisi terhadap PRRI oleh pemerintah untuk menghentikan gerakannya (Yusra, ed. 1997: 110).

Meski pada tahun 1961 pemberontakan sudah diakhiri, dalam kenyataannya suasana kehidupan di Sumatera Barat pada masa ini terus-menerus dalam keadaan tertekan secara sosial, budaya, dan politik. Kondisi ini tidak banyak bedanya dengan suasana penumpasan pemberontakan pada tahun-tahun sebelumnya (1958-1960). Kondisi ketertekanan ini dimanfaatkan oleh kaum Komunis di Sumatera Barat. Kaum Komunis kian leluasa mengembangkan diri seraya menghancurkan lawan-lawannya melalui berbagai intimidasi. Tentara pelajar yang dulunya menjadi bagian dari tentara pemberontak kembali dari hutan tidak dapat lagi berbuat apa-apa terhadap kampungnya. Mereka adalah orang yang kalah perang. Periode pasca PRRI adalah masa paling gelap bagi daerah dan masyarakat Sumatera Barat. Masyarakat Minangkabau dicekam kompleks harga diri rendah yang dialami orang-orang yang kalah perang. Pada umumnya orang Minangkabau merasa menjadi bagian orang kelas dua di kampungnya sendiri. Akibatnya banyak pemuda Minangkabau meninggalkan kampung dan daerahnya. Nagari-nagari menjadi sepi. Tenaga produktif keluar dari Sumatra Barat. Berdasarkan amatan Harun Zain sebagai gubernur Sumatera Barat ketika itu banyak orang Minangkabau yang lari itu tidak mengaku sebagai orang Minangkabau. Bahkan sebagian diantaranya ada yang mengganti namanya dengan nama lain guna menyembunyikan identitasnya sebagai orang Minangkabau (Yusra, ed. 1997 :111).

Harun Zain dalam biografinya menggambarkan bahwa masyarakat Minangkabau masa itu kehilangan semangat dan percaya dirinya sebagaimana daerah ini bernama dari “menang-kerbau”. Menangnya kerbau Minangkabau melawan kerbau Jawa yang besar. Secara dramatis biografi ini menceritakan bagaimana bola mata orang Minangkabau terlihat hampa, cemas, dan patah selera untuk bicara. Kini tidak lagi rantau yang bertuah tapi kampung yang bertuah. Kerusakan akibat tekanan tentara pusat (Jawa) terhadap kehidupan sosial-budaya Sumatera Barat tidak saja berdapak pada psikologis masyarakat semata, tapi juga infrastruktur. Nagari-nagari hancur atau terbakar, dan prasarananya rusak parah. Jalan dan jembatan hancur (Yusra, ed.1997: 127).

Salah satu cuplikan yang menggugah ketika itu adalah ketika Gubernur Harun Zain menanyakan kondisi seorang bapak di salah satu nagari di Sumatera Barat.

“Apalagi yang akan saya katakan Pak? Akan memekik, pekik kami sudah sampai ke langit. Akan menangis, air mata kami sudah kering. Tidak ada lagi yang akan disebut. Bagaimana tibanya sajalah nanti” (Yusra, ed.1997: 201).

Pada periode sesudah tahun 1961 jumlah laki-laki yang sudah kawin yang tinggal di rantau dengan keluarga inti semakin bertambah. Sebanyak 52 persen dari perantau laki-laki yang sudah kawin, tinggal di rantau dengan keluarga intinya, 40 persen tanpa kelurga inti mereka, dan 8 persen menikah di rantau. Angka untuk hal-hal yang sama sesudah tahun 1961 adalah 73 persen, 18 persen, 9 persen (Kato, 2005: 148). Selain itu, perempuan pun sudah melakukan perantauan, terlepas dari dia dibawa suaminya atau tidak. Ada alasan yang kuat untuk menyatakan bahwa pada periode itu perempuan muda Minangkabau juga banyak yang merantau. Tujuan pertamanya bukan untuk mencari pekerjaan, tetapi lebih karena ikut atau diajak suadaranya. Sering terjadi seorang perempuan muda diajak saudaranya sekedar membantu-bantu pekerjaan rumah atau membantu mengasuh anaknya pada saat baru melahirkan. Jika sebagian besar keluarga inti di rantau ini mengajak saudara perempuannya, maka perantauan bagi perempuan muda Minangkabau akan semakin meningkat. Di antara mereka ada yang kembali ke kampung, ada yang tetap tinggal di rantau dan kemudian mendapat pekerjaan (Aneka Minang, edisi 7, Mei 1972).

Kedua, kemunculan Orde Baru di Indonesia yang dibarengi dengan proyek modernisasi dan berkembangnya kehidupan perkotaan di berbagai daerah pasca pergolakan PRRI, khususnya di Sumatera Barat, mempengaruhi pola kehidupan budaya orang Minangkabau. Pengaruh itu tampak pada masuknya nilai-nilai baru (baca: Barat) ke dalam nilai-nilai tradisi Minangkabau, dan pergeseran orientasi terhadap kerabat serta keluarga (Sianggang, ed.,1983).

Selanjutnya LBH Padang dalam buku Kearifan Lokal Pengelolaan SDA menggambarkan bahwa salah satu proyek Orde Baru tentang penataan jorong-jorong dalam nagari menjadi desa, tidak saja berakibat pada perubahan tata kelola pemerintahan tetapi lebih jauh ini merupakan praktek penghancuran nilai-nilai adat dan budaya Minangkabau (LBH, 2005: 38). Penghancuran nilai-nilai ini diantaranya menyangkut masalah perkawinan, interaksi suami-istri, dan antarkaum. [Bila suka dengan artikel ini, silahkan klik iklan di halaman depan, gratis. Sangat membantu update blog ini]

Saturday, October 6, 2012

Lirik Si Nona dan Lamang-Tapai: Simbolik Pergaulan Muda Mudi Minang


Modernisasi bagaikan air bah, melanda nilai-nilai yang menjadi karakter dasar masyarakat Minangkabau sebagaimana digariskan dalam pepatah-petitih dan makna kaba. Tuntutan kebutuhan hidup misalnya, yang sangat meningkat membuat sikap hidup menjadi sangat egois dan materialistik, sehingga hubungan sosial yang ada dalam masyarakat tidak lagi bersifat vertikal (patronisme) melainkan cenderung bersifat horisontal atau egaliter.

Dalam konteks ini mamak menurut Si Nona dan Lamang Tapai tidak lagi memiliki pengaruh terhadap pembentukan karakter kemenakannya, terutama kemenakannya yang perempuan. Kondisi ini membawa perubahan terhadap sikap dan cara pandang perempuan-perempuan Minangkabau. Perubahan sikap itu dapat di lihat pada lagu Si Nona.

si nona...si nona rang gadih mantiak
jan suko...jan suko pai malala
si nona rang gadih nan jolong gadang
jan suko...jan suko pai batandang

oh malala janlah malala juo harilah sanjo
oh marilah-marilah kito pulang harilah patang
awak rancak budi elok baso-basi mamekek hati

si nona-si nona ranggadih mantiak
jan suko-jan suko pai malala

Orang Minangkabau menurut lirik lagu ini lebih senang memanggil anak gadisnya dengan Si Nona. Sapaan Si Nona bukanlah kata sapaan untuk perempuan muda Minangkabau tradisional. Kata Si Nona merupakan kata serapan dari kata “noni”. Sebuah kata panggilan terhadap perempuan muda Belanda jaman dulu di Indonesia. Dulu perempuan Minangkabau biasa disapa dengan Si Upiak, Si Gadih, dan sebagainya. Namun sapaan “Nona” dalam lirik lagu ini terhadap gadis muda Minangkabau muncul oleh kesan moderen daripada upiak atau gadih. Pergi hura-hura, pergaulan bebas, suka menggosip, dan pulang malam menjadi simbol atas kemodernitasan gadis Minangkabau, yakni “Si Nona” menurut lagu ini.

Cerita yang dibangun pada lirik lagu Si Nona adalah ada seorang gadis genit yang di panggil Si Nona. Si Nona mendapat teguran agar tidak lagi suka malala. Si Nona ini gadis yang baru beranjak remaja, dia dilarang untuk suka bertandang. Si Nona sebagai gadis rancak, elok budi, dan pandai berbasa-basi membuat banyak orang yang terpikat sehingga tidak baik di malala maka dia disuruh pulang. Lagu ini tampak jelas sekali mendapati nilai-nilai modernitas.

Namun demikian, kontrol sosial masih berjalan ketika dalam lirik-lirik lagu ini. Ada upaya peringatan kepada generasi muda terutama perempuan muda Minangkabau bahwa malala dan batandang akan merusak citra dan nama baik mereka. Perempuan dalam konsep anak gadih Minangkabau adalah perempuan yang bisa menjaga diri dari pergaulan dan lingkungan, sehingga lirik-lirik pada lagu ini mengingatkan sekaligus melarang perempuan malala dan batandang.

Malala merupakan penyimpangan budaya perempuan Minangkabau. Penyimpangan ini diperkenalkan oleh budaya luar. Malala merupakan kebiasaan yang ditentang budaya Minangkabau karena perempuannya tidak boleh keluar rumah begitu saja tanpa ada tujuan. Kalaupun seorang perempun harus keluar rumah, ia mesti ditemani oleh saudara atau keluarganya. Itupun tidak boleh pada malam hari.

Lirik lagu Si Nona memperlihatkan bahwa pada masa diciptakan perempuan Minangkabau sudah mulai terpengaruh bahkan larut dalam kebiasaan kota dan modernisme. Didukung dengan besarnya arus modernisasi setelah Orde Baru, nilai-nilai adat dan agama dianggap tidak layak lagi menjadi dasar pembangunan sosial. Tidak dalam budaya Minangkabau “Si Upiak” pai malala, demikian pesan tersembunyi lirik lagu ini.

Perempuan di Minangkabau sesungguhnya mendapat perhatian lebih di Rumah Gadang komunalnya terutama dari mamak-mamaknya. Tidak ada perempuan “batandang” seperti yang digambarkan pada si Nona, karena perempuan di Minangkabau akan menjadi Bundo Kanduang yang berarti ibu sejati.

Sejalan dengan itu, kata nona sudah berkembang sejak tahun 1968. Pada surat kabar Aman Makmur, di kolom Tjarito Tjaro Awak kata nona diperuntukkan untuk memanggil perempuan Cina. Sebagaimana yang terdapat dikutipan ini: “...si Sjamsiar adolah urang kampuang si Manan djuo. Injo kini mandjadi pangikuik kursus djaik-mandjaik dan baraja mamasak kue di rumah surang nona djino di kampuang Nieh..” (Aman Makmur, 14 April 1968). (“...si Sjamsiar adalah orang kampung si Manan juga. Sekarang dia mengikuti kursus jahit-menjahit dan belajar memasak kue di rumah seorang nina cina di kampung Nias...”

Kebebasan perempuan bertandang” dan malala yang dilarang dalam budaya Minangkabau dan diadopsi dari budaya modern kemudian juga menimbulkan hubungan yang bebas di kalangan remaja (free sex) Minangkabau. Hal ini berusaha dijabarkan di lirik lagu Lamang Tapai.

Gambaran lirik lagu Lamang Tapai adalah, lemang itu dikatakan enak jika ia dimakan terasa legit. Kalau enaknya tapai terletak pada kuahnya yang manis. Hubungan laki-laki dan perempuan ibarat lemang dan tapai ini, jika berjalan dengan langkah gontai tapi kalau tersandung batu maka terseraklah lemang dan tapai. Seperti itulah hubungan laki-laki dan perempuan jika berbuat kesalahan, laki-laki akan pergi dan perempuan akan meratapi diri.

Lamang jo tapai di lirik ini diumpamakan laki-laki dan perempuan dalam budaya Minangkabau. Dalam budaya Minangkabau lamang dan tapai merupakan makanan yang dibawa menantu ke rumah mertua pada hari raya Idul Adha atau pada saat menghantar pabukoan pada bulan Ramadhan di beberapa daerah di Minangkabau. Lamang dimakan dengan tapai. Tidak lazim bagi masyarakat Minangkabau memakan lamang tanpa tapai atau sebaliknya. Di lagu ini lamang diibaratkan sebagai laki-laki dan tapai sebagai perempuan. Laki-laki tanpa perempuan dan sebaliknya tidaklah sempurna bak sapantun bakcando lamang indak batapai (sepantun bagaikan lemang tak bertapai)  .

Modernisasi yang biasanya dikaitkan dengan pengaruh-pengaruh luar tampak aneh bagi masyarakat Minangkabau ketika rasionalisme yang menjadi landasan pergaulan anak muda didendangkan dalam lagu ini secara negatif “bajalan jo langkah gontai// tasanduang batu cilako” (berjalan dengan langkah gontai// tersandung batu celaka). Modernisasi menurut lagu ini telah menimbulkan nilai-nilai baru di kalangan kaum muda Minangkabau. Laki-laki dan perempuan bisa berjalan dengan santai, menjalin kasih dengan tenang tanpa menghiraukan batas-batas norma. Di sini, perlu pula ditegaskan bahwa tidak semua nilai-nilai pembaharuan atau modernisasi itu dapat diterima oleh masyarakat Minangkabau, terutama menyangkut pergaulan muda-mudi Minangkabau, sehingga lagu Lamang Tapai ini juga menjadi kritik terhadap kondisi tersebut.

Kritik terhadap kondisi ini utamanya diletakkan pada kehidupan free sex muda-mudi Minangkabau. Ketika lamang dan tapai telah tasanduang yang akan mengakibatkan cilako (tersandung batu celaka), maka hancurlah hubungan itu. Kehancuran itu tidak saja berdampak pada tata nilai keluarga, karena banyaknya anak yang lahir di luar nikah, tapi juga menggerusi sifat komunalisme orang Minangkabau disebabkan ketika taserak lamang jo tapai (terserak lemang dengan tapai), akan terjadi kekacauan hidup terutama bagi perempuan. Dia akan dipermalukan dan tidak diterima di tengah-tengah masyarakat, dikeluargapun ia akan dianggap aib. Biasanya, suku dan kaum akan menjatuhkan sangsi sosial berupa pengusiran secara adat. Selain itu, kharakteristik keislaman orang Minangkabau yang fanatik menjadi luntur. Wallahu’alam. [Bila anda suka dengan artikel ini silahkan klik iklan dihalaman depan. Gratis dan membantu update blog ini]

Wednesday, October 3, 2012

Lirik Gamad Lirih Orang Nias: Sebuah Wacana Budaya Etnis Pinggiran


oleh: Novi Yulia

Salah satu tampak jelas dalam pemukiman orang Nias di kota Padang adalah letaknya yang tersuruk di kaki-kaki dan lereng bukit. Mereka berkelompok secara eksklusif. Bagi orang Minangkabau dan etnis lain, ada dua perspektif utama mendeskripsikan orang Nias ini; dukun, dan gamad.

Dukun-dukun Nias ini sangat terkenal ampuh dan dianggap paling unggul diantara dukun lain. Sementara gamad, merupakan musik etnis Nias yang  memiliki irama riang, namun dalam lirik lirihnya, seakan tergayut rasa kerinduan kampung halaman, keinginan bergaul, dan ketertekanan sosio-kultural.

Sepuluh tahun terakhir, kota Padang mulai memetamorfosis dirinya sebagai ”kota Minangkabau”. Pemerintah kota berusaha memaksa etnis urban lainnya di lingkungannya untuk mengikuti wacana “kota Minangkabau”, lewat simbol-simbol keminangkabauan, tidak terkecuali etnis Nias. Bangunan-bangunan, kurikulum muatan lokal di sekolah, perayaan hari besar nasional, dan banyak lagi menjadi media minangkabaunisasi kota.
Dalam kondisi ini, orang Nias tidak bisa menggugat hegemoni pemerintah kota dalam minangkabaunisasi tersebut. Meski demikian, orang Nias tetap mengembangkan kehidupannya sendiri dengan proses penciptaan pewacanaan lewat lirik gamad mereka, meski ini menyebabkan keterbelahan wacana budaya tanding yang ingin mereka bentuk.

Pertama, lirik gamad menjadi alat minangkabaunisasi bagi orang Nias sendiri karena tidak ada pilihan lain sebagai warga kota. Kedua, lewat teori Enzeberger, lirik-lirik lagu, dalam hal ini gamad, juga sebagai media partisipasi demokrasi yang mampu menolak wacana minangkabaunisasi dan menghindari kontrol wacana tersebut. Lirik-lirik lirih itu, misalnya, dalam lagu Pupuik Sarunai, Anak Kanduang Anak Abak, Saligi, Alek Olo, Endong-Endong, Bunga Tanjung, Mangana Untuang, dan banyak lagi.

Lagu-lagu di atas diciptakan diantaranya oleh Drs. Syamsi Hasan, Yan Juneid, dan lain-lain. Mereka merupakan orang Nias asli, sehingga ide-ide yang dibangun dari setiap lirik tidak bisa lepas dari latar sosio-kultural mereka. Lagu-lagu ini juga banyak didendangkan oleh, Rosnida, Lina Marni, Syaiful Kelana, yang juga orang Nias. Komposisi ini sangat mempengaruhi kedalaman rasa pendendangan, baik itu rasa perlawanan, maupun  Minangkabaunisasi yang dilematis.

Menjadi Minangkabau
Ide minangkabaunisasi bagi orang Nias didendangkan sebagai irama suara hati untuk berkelumun dalam wacana keminangkabauan kontemporer. Harapan mereka tentu dapat didengar oleh orang Minangkabau, sehingga keberadaan mereka diterima dan diperhitungkan sebagai bagian dari konstruksi budaya Minangkabau sendiri. Mereka tidak ingin lagi dianggap sebagai perantau, pendatang, atau pemaknaan yang lebih ekstrim lain, seperti bekas budak.

Salah satu liriknya, dalam lagu ”Mangana Untuang”; ”kalaulah nasib indak baruntuang// pisang nan ditanam indaklah bajantuang// nasib umpamo si anak lutuang// mancari dahan mancari dahan// tampek bagantuang”.
Lirik lagu yang dikarang dan didendangkan oleh Yan Juneid ini merupakan wakil senandung jiwa orang Nias atas tidak diterimanya mereka di lingkungan etnis Minangkabau. Sementara mereka telah berusaha meminangkabaukan diri agar mendapat posisi di salah satu ruang konstruksi sosio-kultural Minangkabau itu.

Lewat lagu-lagu inilah etnis Nias menyuarakan semangat ingin diterima dan diakui sebagai bagian Minangkabau. Salah satu caranya adalah menjadi keponakan di bawah lutuik. Di mana, mereka ingin memiliki mamak, sebagai streotype pelindung yang berkuasa, sehingga mereka juga bisa ke sawah, ke parak, dan ke ladang mengolah harta mamak, sebagaimana yang diiramakan dalam lagu Anak Kanduang Anak Abak dan  termaktum dalam aturan posisi keponakan di bawah lutuik yang dianut masyarakat Minangkabau. Tema senada tersenandung juga dalam lirik lagu ”Alek Olo”; ”duduak sutan jo marah// tahidang nasi jo samba// pangek lauak bakuah// piriang cambuang ka tambah// hai mano sutan jo marah// sanduaklah nasi makanlah// caro Olo yo bana kato sapangka”.

Pada perhelatan budaya, etnis Nias ingin sejajar dan disejajarkan dengan etnis Minangkabau. Tanpa ada sekat rekat yang menjarakkan. ”Sutan dan Marah” sebagai simbol kekuatan dan strata Minangkabau berusaha diheningkan oleh orang Nias. Mereka ingin duduk sama rendah, tegak sama tinggi. ”hai mano sutan jo marah// sanduaklah nasi makanlah// caro Olo yo bana kato sapangka, dengan membuat tradisi tanding ”Caro Olo”.

Dilema mewacanakan minangkabaunisasi
Di sisi lain, etnis Nias tidak bisa mengelak dari intervensi wacana Minangkabaunisasi yang marak melanda berbagai daerah di Sumatera Barat kini, sehingga mau tidak mau mereka mengalami perlawanan yang dilematis. Perlawanan ini tidak bersifat frontal atau kekerasan. Tapi ini disuarakan melalui lirik-lirik lirih karena mereka merasa tidak mempunyai kekuatan untuk melakukannya mengingat mereka sedikit dan pendatang pula. Namun, di dalam rasa lirik-lirik lirih perlawanan ini terselip harapan untuk tetap diterima, meski pada akhirnya justru terjadi pengukuhan identitas.

Suara lirik-lirik lirih itu disenandungkan dalam lirik lagu Anak Kanduang Anak Abak, Endong-Endong, Bunga Tanjung dan lainnya. Lagu Anak Kanduang Anak Abak, misalnya, beridekan tentang sistem patrilinial mereka yang seakan kurcaci di dalam raksasa matrilinial Minangkabau. Lirih didendangkan, anak kanduang anak abak// mari kito ka sawah// mamangkua mambajak// kito batanam padi//..// mari kito ka ladang// kito batanam pisang//..//mari kito ka parak//..//di tanam jaguang gerai”.

Secara sosio-kultural Nias, di ranah Minangkabau ini mereka tidaklah memiliki sawah, ladang dan parak, yang menjadi simbol kekayaan orang Minangkabau. Namun pengakuan mereka sebagai kemenakan di bawah lutuik—yang semestinya memiliki hak dalam sistem ulayat—jauh dari harapan, sehingga lirik ini juga menjadi media pengukuhan diri mereka, sebagai pemegang tradisi patrilinial dalam syair, anak kanduang anak abak// mari kito ka  sawah.

Begitu juga dengan lirik lagu yang terdapat pada Sarunai Aceh, pada lirik lagu ini terlihat menduanya hati orang Nias antara menguatkan tradisi sendiri dengan mengagungkan budaya Minangkabau. Jika dilihat kembali lirik lagu Anak Kanduang Anak Abak, orang Nias mengemukakan budayanya. Namun, di Sarunai Aceh jiwa Minangkabau tersemayam diratok bathin sebagai perantau yang tak dianggap dilingkungannya.

Sebagai etnis penganut patrilokal yang semestinya mengadu kepada bapak seperti tersirat di lirik Anak Kandang Anak Abak, namun warna lain lahir di lirik Sarunai Aceh, pengaduan akan nasib dan susahnya hidup dipanahkan kepada ibu; maratok denai di tangah malam// yo sansai// takana jo untuang ko mak// parasaian//..// ketek marasai gadanglah sansai// ketek marasai gadanglah sansai// yo malang// baitulah nasib ko mak// untuang den surang.

***
Lirik lagu yang bertemakan dua hal di atas tentu banyak lagi. Namun pastinya lirik itu menjadi media eksistensi diri etnis Nias di tengah tekanan etnis Minangkabau. lirik-lirik gamad menjadi media penyampaian keinginan-keinginan orang Nias terhadap Masyarakat Minangkabau. Semestinya juga gamad dipahami orang Minangkabau sebagai media penerimaan karena tidak ada pentingnya mengemukakan ego etnisitas. Anggapan etnis Nias sebagai etnis urban pinggiran, masyarakat penghuni pinggir bukit semestinya dapat dikalahkan oleh alunan dendang gamad yang lirik dan alat musiknya bercirikan musik etnis Minang.

Satu lagi yang mesti dipahami, orang Niaslah pada awalnya yang membangun Padang sebagai nadi modernitas orang Minangkabau. Namun, kini mereka berada di pinggiran bukit. Ditambah, selain sebagai dukun dan musik gamad, timbul pemaknaan baru terhadap etnis Nias, yakni anak dan amak jalanan. Di jalan-jalan kota banyak berkeliaran pengamen-pengamen cilik yang berasal dari etnis ini.

Maka dari itu, perbedaan dan kesenjangan ini semestinya dapat terleburkan oleh gaung irama gamad yang dilantunkan. Seperti niatan hati orang Nias yang ternadakan juga dalam lirik lagu Bunga Tanjung, di mana ada harapan mendapat sedikit ruang di ranah hati orang Minang. Terdendangkanlah dengan lirih, harum baunya si bungalah tanjung//..// harumnya sampai melintasi gunung//..//tuan ku harap umpama payung//..//hujan dan panas tempat berlindung. [bila anda suka artikel ini mohon diklik salah satu iklannya. Gratis dan sangat membantu penulis]

Tuesday, October 2, 2012

Lirik Lagu Pop Minang dan Alur Sosial


Dalam kehidupan sehari-hari bahasa adalah salah satu wadah utama dari budaya Minangkabau. Lagu dan puisi dalam konteks ini memainkan peran penting. Sebagai contoh, peran ini terdapat dalam lirik lagu lama seperti dendang yang mengajak orang menguatkan nilai-nilai ideal keminangkabauan atau malah mengabaikan aturan-aturan etika dan norma. Ajakan ini sifatnya tidak secara langsung disampaikan karena akan mempermalukan, tetapi melalui sindiran, kato malereang atau pepatah-petitih (Barendregt, 2002: 425).

Dalam konteks kekinian kato malereang ini dapat juga ditemukan dalam lirik-lirik lagu pop Minangkabau. Umumnya kato malereang kato ditujukan kepada menantu oleh mertua, misalnya ketika seorang menantu tidak bekerja dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bermalas-malasan. Si mertua akan  menyindir menantunya dengan: “kuciang ko lalok ka lalok se, cari bagailah mancik di sawah” (tidur-tidur saja kerjamu kucing, carilah tikus di sawah). Atau ia marah-marah pada ayam yang masuk rumah dengan ucapan: “ayam kurang aja ka ateh rumah juo mancari makan, kaparak bagailah mancari makan kadianyo” (ayam kurang ajar ke atas rumah juga  mencari makan, carilah makan ke ladang). Pada lirik lagu pop Minangkabau kato malereang ini misalnya dapat ditemukan dalam Boco Aluih (ciptaan Nuskan Sjarief) yang dinyanyikan oleh Ida Busra dalam album “VCD Spesial Basiginyang Ajo-One” yang direkam oleh Sinar Padang Record:

buncak barito si Jibua kayo takajuik dek manang lotre
pitihnyo bakambuik-kambuik
dahulu marangkiah kini paruiknyo ganduik
hobinyo babini oi suduik satiok suduik

sabana sero oi bapitih banyak
sabana lapeh oi sagalo kandak
...
satiok hari amehnyo ganti baganti
tabaok sanang sia nan pandai manggili
lah boco aluih lah boco aluih

lah abih cakak mangkonyo takana silek
kalua pitih kok iyo lah mulai sandek
bini jo harato lah habih hilang ciek-ciek
otonyo nan sedan lah baganti jo honda bebek
lah boco aluih lah boco aluih
...
(adalah kisah si Jibua kaya mendadak karena menang judi
uangnya pun bergoni-goni
jika dahulu ia kurus kering sekarang perutnya gendut
dan hobinya pun beristri setiap sudut

duh asyiknya hai ber-uang banyak
terpenuhilah segala kehendak
...
setiap hari emasnya ganti berganti
tersenanglah siapa-siapa nan pandai merebut hati
...
hoi...telah gila hai telah gila

cakak selesai ingatlah silat
uang yang keluar pun mulai sendat
istri dan harta mulai minggat
sedan mobilnya pun berganti honda butut
hai-hai telah gila hai telah gila)

Kisah dalam lagu di atas menceritakan seorang bernama Jibua. Ia menang judi dan mendadak menjadi kaya raya. Kekayaannya membuat dia lupa diri. Ia berfoya-foya dan mengabaikan istri-anaknya. Namun bagaikan pepatah sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada guna, ia kemudian memiliki hutang banyak oleh gaya hidupnya yang mewah. Perubahan drastis kehidupannya mulai terjadi, dan akhirnya ia pun gila.

Lagu Boco Aluih yang dinyanyikan oleh Ida Busra yang dikenal dengan panggilan One ini merupakan sindiran kepada banyak orang yang senang berjudi untuk cepat menjadi kaya. Kekayaan dari hasil judi tidak bisa membawa kebaikan bagi pelakunya. Judi justru mendatangkan kehancuran diri dan keluarganya. Pada akhirnya, judi justru membuat orang menjadi gila: bini jo harato lah habih hilang ciek-ciek// otonyo nan sedan lah baganti jo honda bebek// lah boco aluih lah boco aluih.

Menurut Laurenson (dalam Fananie 2002: 133) karya sastra merupakan dokumen sosial yang di dalamnya terefleksi situasi pada masa sastra itu diciptakan. Artinya teks dalam  karya sastra itu tidak bisa dilepaskan dari faktor sosial-budaya yang melatari lahirnya karya tersebut (Mahayana, 2005: 229). Ini disebut dengan perspektif sosiologis dalam karya sastra.

Meski lirik lagu Minang ini merupakan karya sastra, secara simbolik telah memberi gambaran terhadap fenomena sosial yang diakibatkan oleh peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi di tengah masyarakat Minangkabau dan pengaruh modernisasi Orde Baru (Amir, 1986:130). Dan judi merupakan salah satu fenomena yang banyak dipotret dalam lirik lagu-lagu pop Minangkabau kontemporer. Wallahu’alam.

nb; bila anda suka dengan artikel ini silahkan klik salah satu iklan untuk membiayainya. Klik anda tak akan dipungut biaya. terima kasih.

Rantau Imajiner dalam Lirik Lagu Pop Minang 1960-1970

Minangkabau memiliki nyanyian dan puisi tradisional dalam bentuk pantun, talibun, kaba, indang, syair yang biasanya dibawakan dengan cara dilagukan. Nyanyian dan puisi itu disampaikan dari mulut ke mulut tanpa menggunakan teknologi modern seperti piringan hitam, kaset, VCD,  dan disebut juga dengan sastra lisan (Djamaris, 2002: 4-5). Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, nyanyian dan puisi Minangkabau tersebut mulai menggunakan teknologi bantu dan disebut sebagai lagu Minangkabau modern.

Berkembangnya industri kaset rekaman di Sumatera Barat sejak tahun 1970-an makin mempopulerkan penyanyi-penyanyi dan lagu pop Minangkabau dalam masyarakat. Mereka di antaranya  Elly Kasim, Nurseha, Juni Amir, Syamsi Hasan, Yan Juned, Tiar Ramon, Lili Syarif, Eva Nurdin, Yan Bastian, dan lain-lain. Lagu-lagu yang mereka populerkan di antaranya, Rabab, Ombak Puruih, Anak Salido, Si Nona, Ayam Den Lapeh, Baju Kuruang, Tinggalah Kampuang, Simpang Ampek, Sinar Riau, dan lain-lain. Lirik lagu ini merupakan respon terhadap banyaknya masyarakat Minangkabau terutama laki-laki yang merantau. Lirik lagu ini awalnya direkam dalam media piringan hitam.

Tema-tema rantau merupakan bagian yang paling banyak didendangkan dalam periode ini. Lirik-lirik lagu tersebut menjadi media interaksi antara perantau, kampung, dan orang yang ditinggalkan. Ada dua fokus utama potret kehidupan seputar lirik-lirik rantau ini; dilema si perantau; kampuang nan maimbau.
Dilema si perantau muncul karena tarikan kampung yang maimbau dan kekuatiran oleh kondisinya pasca pergolakan PRRI. Hal ini dapat diilustrasikan lewat lirik lagu ”Langkisau” (Nuskan Sjarief);
kok lai tabangkik batang tarandam//
tangiang kampuang maimbau//
taganang si aia mato//
rila-rilalah bundo malapeh//
untuang salamaik pulang jo pai.

Lirik lagu ini merupakan sebuah cerita dilema orang rantau yang ingin pulang karena panggilan kampung. Namun, tidak bisa pulang karena kondisi di Minangkabau yang tidak memungkinkan saat itu. Rasa trauma akan masa pergolakan masih menghantui perantau.  Harapan untuk memperbaiki kembali kampung tercinta sangat besar, diiringi oleh panggilan kerinduan kampung (longing home).

Merantau dalam lirik ini tidak dilakukan dalam upaya memenuhi tuntutan adat, seperti dalam pepatah;
”karatau madang di hulu
babuah babungo balun
marantau bujang dahulu
di rumah paguno alun.

Tapi, dilakukan karena kondisi sosial yang tidak menentu. Desakan politik dan tekanan pemerintah mendorong orang Minangkabau untuk merantau meninggalkan negerinya. Sehingga banyak orang yang merantau tanpa sepengetahuan sanak famili dan keluarga lainnya.

Keterpaksaan ini menimbulkan rasa melankolis bagi perantau yang terlihat dari lirik-lirik lagu seperti ”Sinar Riau”. Pengungkapan kerinduan akan kampung dan orang-orang yang ditinggalkan begitu menghiba. Ini didendangkan dalam, ”taragak mandeh jo urang rantau...//sabalah mandeh badan denai lai kapulang...//rabab tolong sampaikan”.

Tampaknya gesekan tali rabab menjadi simbol perindu yang sayup-sayup didendangkan oleh orang kampung yang ditinggalkan oleh perantau terdengar yang lirih. Sementara bagi orang kampung dilema para perantau itu bersambut harapan dengan, ”ondeh rabab yo rabab tolong sampaikan//urang rantau yo rantau lakeh lah pulang”.

Harapan orang kampung ini merupakan mulai kondusifnya situasi sosial di Minangkabau saat itu. Di sisi lain kehancuran tata sosial-budaya masyarakat menanti kepulangan orang rantau untuk memperbaiki kondisi ini. Banyak hal yang telah rusak dan hancur pasca pergolakan. Bahkan ”taratak” sebagai simbol komunalisme masyarakat Minangkabau sudah lama ditinggalkan, sebagaimana dalam lirik ”Taratak Tingga”, ”taratak lak lamo tingga maimbau-imbau//bilo koh masonyo pulang urang di rantau//yo kok lautan sati rantau batuah ndeh bana-bana//taratak kuyuik dek hujan si aia mato”. Upaya revitalisasi sosial-budaya ini menjadi sebuah proyek antara orang kampung dan perantau.

Ciri musik dan lirik masa ini kemudian menjadi pakem dari lirik dan musik lagu pop Minangkabau generasi berikutnya. Rekam ulang dengan pemasukan unsur moderen seperti organ dalam mengemas lirik-lirik tersebut makin memudahkannya diterima oleh masyarakat Minangkabau di perkotaan dan pedesaan. Ide-ide utama dari lirik-lirik itu menginspirasi lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Yen Rustam, Zalmon, An Roy’s, Yeni Puspita, Odi Malik, Susi dan penyanyi-penyanyi generasi baru lainnya.

Diantaranya adalah, ”Marantau Cino”, ”Bayangan Uda”, ”Galau Hati Nan Luko”, ”Pulanglah Ayah”, ”Rayuan Maut”, ”Malam Panantian” dan lainnya. Salah satu lirik yang terinspirasi dari lirik lagu periode 1960-70an itu misalnya, ”Pulanglah Uda” yang dinyanyikan oleh Yen Rustam. Salah satu baitnya yaitu tentang kerinduan terhadap orang rantau, uda kanduang di rantau urang// pulanglah uda di tanah Jao// di tanah Jao di rantau urang// kinilah lupo (kinilah lupo) jo gadih Minang// jan kan surek kaba barito// denai mananti (denai mananti) jo aia mato.

Lirik lagu ini merupakan dendang terhadap orang yang pergi merantau. Dalam lirik ini disuarakan kerinduan orang kampung yang dipersonifikasikan lewat seorang gadis Minang yang kesepian ditinggal sang kekasih. Telah lama ia pergi meninggalkan dirinya untuk pergi merantau. Rantau tampaknya telah mengubah perasaan si lelaki, sehingga jangankan surat, kabar berita tentang dirinya pun tidak bisa didengar oleh si gadis. Topik tentang rantau, orang yang ditinggal, kerinduan seorang gadis, merupakan trend lirik-lirik lagu yang diinspirasi oleh lirik dan musik lagu pop Minangkabau generasi awal, seperti ”Rabab”.

Selain itu, keberadaan lirik-lirik lagu pada era ini menyisakan sebuah catatan menarik dalam konteks peran dan fungsi mamak di Minangkabau. Kebanyakan mandeh menjadi figur utama yang diingat bukan mamak dalam lirik-lirik lagu masa ini. Padahal di Minangkabau mamak merupakan, kapayi tampek batanyo, kapulang tampek babarito. Lirik ini sebanding dengan lirik, ”Tinggalah Kampuang” (Syahrul Yusuf); tinggalah kampuang ranah balingka// gunuang singgalang lai kamanjago// o mandeh kanduang tolong jo do’a// antah pabilo ondeh kito basuo. Jika demikian, tak bisa dipungkiri, lirik-lirik lagu pop Minang masa 1960-70 merupakan icon bagi musik Minang kontemporer. Untuk hal ini, sesungguhnya, kita berutang “ revitalisasi budaya” pasca kehancuran PRRI itu kepada para pengarangnya. Wallahua’alam.

NB: Klik anda terhadap salah satu iklan di blog ini sangat membantu update contentnya. Klik ini tidak akan mendatangkan biaya pada anda. Terima kasih

Monday, October 1, 2012

Lirik Sebagai Sejarah Intelektual Minangkabau


Setidaknya terdapat dua tonggak sejarah penting dalam perubahan sosial-budaya di Sumatera Barat selama periode 1960-1970. Tonggak-tonggak itu adalah peristiwa pergolakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang diakhiri dengan kekalahan tahun 1960 dan berdirinya Orde Baru. Kedua peristiwa ini memiliki efek sosial-budaya kuat yang pada akhirnya mempengaruhi identitas keminangkabauan. Mempengaruhi sistem nilai dan sistem budaya orang Minangkabau.

PRRI adalah salah satu peristiwa historis yang terjadi di panggung sejarah Indonesia yang cukup banyak mendapat perhatian ilmuan dan pengamat sosial-budaya. Selain itu kekalahan pasca PRRI tahun 1958 memiliki dampak vital terhadap perubahan sosial-budaya masyarakat Minangkabau pada periode berikutnya. Banyak kajian dan publikasi telah dilakukan berkenaan dengan PRRI ini. Beberapa kajian mengenai PRRI, misalnya tulisan R. Z. Leirisa (1998) yang memperkenalkan sejumlah tulisan terpilih mengenai PRRI. Asvi Warman Adam (2000) yang melihat penulisan sejarah PRRI sebagai bagian dari penulisan sejarah militer. Gusti Asnan (2005) menyoroti pengungkapan kekerasan dalam penulisan sejarah PRRI.

Selain karya-karya tulis di atas, para pengarang lagu Minangkabau modern pada periode yang sama juga diinspirasi oleh kondisi sosial-budaya yang berkembang pada periode itu. Kehilangan saudara, keluarga, kekasih, ketertekanan sosial yang diiringi meningkatnya orang muda Minangkabau merantau karena merasa tidak nyaman lagi di kampung, dan sebagainya, merupakan kondisi sosial-budaya masyarakat Minang kala itu yang melatari lahirnya lirik-lirik lagu pada era tersebut.

Salah satu lagunya adalah Barangkek Kapa (Berangkat Kapal) dipopulerkan oleh Lily Syarief, 1960. Barangkek kapa ka tanah Djao// Cukuik katigo pupuik babunyi// Den lapeh Uda jo aia mato// Untuang salamaik pulang jo pai (Berangkalah kapal ke tanah Jawa// cukup ketiga pluit berbunyi// Saya lepas uda dengan air mata// Semoga selamat pulang dan pergi).

Lirik lagu yang dinyanyikan Lily Syarief ini mengandung dua dampak penting dari PRRI dalam masyarakat Minangkabau. Pertama, meningkatnya orang-orang muda Minangkabau merantau ke Jawa, yang kala itu dianggap sebagai daerah paling aman setelah huru-hara pemberontakan 1958. Kedua, menguatnya posisi lelaki Minangkabau di mata perempuan yang sebelumnya diibaratkan seperti abu di atas tunggul.
Pada periode inilah terjadi sebuah perubahan mendasar dari lirik-lirik lagu untuk konsumsi massa.

Sebelumnya lagu-lagu Minangkabau lebih banyak bertemakan cerita-cerita rakyat dalam Tambo dan kaba yang dinyanyikan oleh Tukang Kaba, Tukang Rabab, Tukang Saluang, dan lain-lain dalam sebuah pertunjukan terbatas. Selain itu bisa disebutkan bahwa lagu-lagu yang tercipta pada periode pasca PRRI menjadi dasar dan pondasi tema lagu-lagu Minangkabau kontemporer, apalagi ditambah dengan perkembangan kaset komersil di Sumatera Barat (Suryadi, 2003).

Berkembangnya industri kaset rekaman di Sumatera Barat makin mempopulerkan penyanyi-penyanyi dan lagu Minangkabau tersebut dalam masyarakat. Mereka diantaranya  Juni Amir, Syamsi Hasan, Yan Juned, Tiar Ramon, Nurseha, Lili Syarif, Eva Nurdin, Yan Bastian, Elly Kasim, dan lain-lain. Lagu-lagu yang mereka populerkan di antaranya, ”Minangkabau”, ”Rabab”, ”Ombak Puruih”, ”Anak Salido”, ”Si Nona”, ”Ayam Den Lapeh”, ”Baju Kuruang”, ”Tinggalah Kampuang”, ”Simpang Ampek”, ”Sinar Riau”, dan lain-lain. Lagu-lagu tersebut umumnya diciptakan di tahun 1950an dan di awal 1960an.

Lirik lagu merupakan hasil kreatif seorang pengarang. Lirik-lirik itu lahir dari imajinasi, pengalaman pribadi atau orang sekelilingnya, dan respon terhadap sebuah situasi sosial di lingkungannya. Jika mempelajari lirik lagu dapatlah dilihat keterikatan yang utuh, dan menyeluruh antara karya sastra dan sejarah sosial masyarakat Minangkabau. Lirik-lirik tersebut merupakan potret sejarah sosial masyarakat dari perubahan yang terjadi pada periode tersebut di Sumatera Barat. Sehingga lirik lagu dapat memberikan sebuah perspektif alternatif terhadap sejarah sosial intelektual suatu masyarakat yang sedang mengalami transisi budaya pada satu periode.

Selain itu lirik lagu memiliki kisah atau cerita dan pesan untuk masyarakat penikmatnya. Percintaan, masakan tradisional (Yulia, 2009), komedi, perantauan, dan sejarah sosial-budaya masyarakat dalam perspektif pengarang merupakan sebagian tema dari kisah atau cerita sebuah lagu. Karya sastra, di dalamnya termasuk lirik lagu, merupakan gambaran akan harapan, kecemasan dan aspirasi masyarakat pada periode tertentu dan kebudayaan tertentu.

Dengan demikian, lirik lagu merupakan sebuah karya sastra yang selain mengandung anasir puitis, juga memiliki unsur realitas sosial pada saat karya itu diciptakan. Jadi, lirik lagu merupakan sejarah sosial intelektual bagi sebuah etnis. Untuk itu sepantasnyalah kita mengetahui dan memahami lirik-lirik lagu Minang sebagai aset budaya yang jelas.