Saturday, October 6, 2012

Lirik Si Nona dan Lamang-Tapai: Simbolik Pergaulan Muda Mudi Minang


Modernisasi bagaikan air bah, melanda nilai-nilai yang menjadi karakter dasar masyarakat Minangkabau sebagaimana digariskan dalam pepatah-petitih dan makna kaba. Tuntutan kebutuhan hidup misalnya, yang sangat meningkat membuat sikap hidup menjadi sangat egois dan materialistik, sehingga hubungan sosial yang ada dalam masyarakat tidak lagi bersifat vertikal (patronisme) melainkan cenderung bersifat horisontal atau egaliter.

Dalam konteks ini mamak menurut Si Nona dan Lamang Tapai tidak lagi memiliki pengaruh terhadap pembentukan karakter kemenakannya, terutama kemenakannya yang perempuan. Kondisi ini membawa perubahan terhadap sikap dan cara pandang perempuan-perempuan Minangkabau. Perubahan sikap itu dapat di lihat pada lagu Si Nona.

si nona...si nona rang gadih mantiak
jan suko...jan suko pai malala
si nona rang gadih nan jolong gadang
jan suko...jan suko pai batandang

oh malala janlah malala juo harilah sanjo
oh marilah-marilah kito pulang harilah patang
awak rancak budi elok baso-basi mamekek hati

si nona-si nona ranggadih mantiak
jan suko-jan suko pai malala

Orang Minangkabau menurut lirik lagu ini lebih senang memanggil anak gadisnya dengan Si Nona. Sapaan Si Nona bukanlah kata sapaan untuk perempuan muda Minangkabau tradisional. Kata Si Nona merupakan kata serapan dari kata “noni”. Sebuah kata panggilan terhadap perempuan muda Belanda jaman dulu di Indonesia. Dulu perempuan Minangkabau biasa disapa dengan Si Upiak, Si Gadih, dan sebagainya. Namun sapaan “Nona” dalam lirik lagu ini terhadap gadis muda Minangkabau muncul oleh kesan moderen daripada upiak atau gadih. Pergi hura-hura, pergaulan bebas, suka menggosip, dan pulang malam menjadi simbol atas kemodernitasan gadis Minangkabau, yakni “Si Nona” menurut lagu ini.

Cerita yang dibangun pada lirik lagu Si Nona adalah ada seorang gadis genit yang di panggil Si Nona. Si Nona mendapat teguran agar tidak lagi suka malala. Si Nona ini gadis yang baru beranjak remaja, dia dilarang untuk suka bertandang. Si Nona sebagai gadis rancak, elok budi, dan pandai berbasa-basi membuat banyak orang yang terpikat sehingga tidak baik di malala maka dia disuruh pulang. Lagu ini tampak jelas sekali mendapati nilai-nilai modernitas.

Namun demikian, kontrol sosial masih berjalan ketika dalam lirik-lirik lagu ini. Ada upaya peringatan kepada generasi muda terutama perempuan muda Minangkabau bahwa malala dan batandang akan merusak citra dan nama baik mereka. Perempuan dalam konsep anak gadih Minangkabau adalah perempuan yang bisa menjaga diri dari pergaulan dan lingkungan, sehingga lirik-lirik pada lagu ini mengingatkan sekaligus melarang perempuan malala dan batandang.

Malala merupakan penyimpangan budaya perempuan Minangkabau. Penyimpangan ini diperkenalkan oleh budaya luar. Malala merupakan kebiasaan yang ditentang budaya Minangkabau karena perempuannya tidak boleh keluar rumah begitu saja tanpa ada tujuan. Kalaupun seorang perempun harus keluar rumah, ia mesti ditemani oleh saudara atau keluarganya. Itupun tidak boleh pada malam hari.

Lirik lagu Si Nona memperlihatkan bahwa pada masa diciptakan perempuan Minangkabau sudah mulai terpengaruh bahkan larut dalam kebiasaan kota dan modernisme. Didukung dengan besarnya arus modernisasi setelah Orde Baru, nilai-nilai adat dan agama dianggap tidak layak lagi menjadi dasar pembangunan sosial. Tidak dalam budaya Minangkabau “Si Upiak” pai malala, demikian pesan tersembunyi lirik lagu ini.

Perempuan di Minangkabau sesungguhnya mendapat perhatian lebih di Rumah Gadang komunalnya terutama dari mamak-mamaknya. Tidak ada perempuan “batandang” seperti yang digambarkan pada si Nona, karena perempuan di Minangkabau akan menjadi Bundo Kanduang yang berarti ibu sejati.

Sejalan dengan itu, kata nona sudah berkembang sejak tahun 1968. Pada surat kabar Aman Makmur, di kolom Tjarito Tjaro Awak kata nona diperuntukkan untuk memanggil perempuan Cina. Sebagaimana yang terdapat dikutipan ini: “...si Sjamsiar adolah urang kampuang si Manan djuo. Injo kini mandjadi pangikuik kursus djaik-mandjaik dan baraja mamasak kue di rumah surang nona djino di kampuang Nieh..” (Aman Makmur, 14 April 1968). (“...si Sjamsiar adalah orang kampung si Manan juga. Sekarang dia mengikuti kursus jahit-menjahit dan belajar memasak kue di rumah seorang nina cina di kampung Nias...”

Kebebasan perempuan bertandang” dan malala yang dilarang dalam budaya Minangkabau dan diadopsi dari budaya modern kemudian juga menimbulkan hubungan yang bebas di kalangan remaja (free sex) Minangkabau. Hal ini berusaha dijabarkan di lirik lagu Lamang Tapai.

Gambaran lirik lagu Lamang Tapai adalah, lemang itu dikatakan enak jika ia dimakan terasa legit. Kalau enaknya tapai terletak pada kuahnya yang manis. Hubungan laki-laki dan perempuan ibarat lemang dan tapai ini, jika berjalan dengan langkah gontai tapi kalau tersandung batu maka terseraklah lemang dan tapai. Seperti itulah hubungan laki-laki dan perempuan jika berbuat kesalahan, laki-laki akan pergi dan perempuan akan meratapi diri.

Lamang jo tapai di lirik ini diumpamakan laki-laki dan perempuan dalam budaya Minangkabau. Dalam budaya Minangkabau lamang dan tapai merupakan makanan yang dibawa menantu ke rumah mertua pada hari raya Idul Adha atau pada saat menghantar pabukoan pada bulan Ramadhan di beberapa daerah di Minangkabau. Lamang dimakan dengan tapai. Tidak lazim bagi masyarakat Minangkabau memakan lamang tanpa tapai atau sebaliknya. Di lagu ini lamang diibaratkan sebagai laki-laki dan tapai sebagai perempuan. Laki-laki tanpa perempuan dan sebaliknya tidaklah sempurna bak sapantun bakcando lamang indak batapai (sepantun bagaikan lemang tak bertapai)  .

Modernisasi yang biasanya dikaitkan dengan pengaruh-pengaruh luar tampak aneh bagi masyarakat Minangkabau ketika rasionalisme yang menjadi landasan pergaulan anak muda didendangkan dalam lagu ini secara negatif “bajalan jo langkah gontai// tasanduang batu cilako” (berjalan dengan langkah gontai// tersandung batu celaka). Modernisasi menurut lagu ini telah menimbulkan nilai-nilai baru di kalangan kaum muda Minangkabau. Laki-laki dan perempuan bisa berjalan dengan santai, menjalin kasih dengan tenang tanpa menghiraukan batas-batas norma. Di sini, perlu pula ditegaskan bahwa tidak semua nilai-nilai pembaharuan atau modernisasi itu dapat diterima oleh masyarakat Minangkabau, terutama menyangkut pergaulan muda-mudi Minangkabau, sehingga lagu Lamang Tapai ini juga menjadi kritik terhadap kondisi tersebut.

Kritik terhadap kondisi ini utamanya diletakkan pada kehidupan free sex muda-mudi Minangkabau. Ketika lamang dan tapai telah tasanduang yang akan mengakibatkan cilako (tersandung batu celaka), maka hancurlah hubungan itu. Kehancuran itu tidak saja berdampak pada tata nilai keluarga, karena banyaknya anak yang lahir di luar nikah, tapi juga menggerusi sifat komunalisme orang Minangkabau disebabkan ketika taserak lamang jo tapai (terserak lemang dengan tapai), akan terjadi kekacauan hidup terutama bagi perempuan. Dia akan dipermalukan dan tidak diterima di tengah-tengah masyarakat, dikeluargapun ia akan dianggap aib. Biasanya, suku dan kaum akan menjatuhkan sangsi sosial berupa pengusiran secara adat. Selain itu, kharakteristik keislaman orang Minangkabau yang fanatik menjadi luntur. Wallahu’alam. [Bila anda suka dengan artikel ini silahkan klik iklan dihalaman depan. Gratis dan membantu update blog ini]

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komen dan kunjungannya