Tuesday, October 2, 2012

Rantau Imajiner dalam Lirik Lagu Pop Minang 1960-1970

Minangkabau memiliki nyanyian dan puisi tradisional dalam bentuk pantun, talibun, kaba, indang, syair yang biasanya dibawakan dengan cara dilagukan. Nyanyian dan puisi itu disampaikan dari mulut ke mulut tanpa menggunakan teknologi modern seperti piringan hitam, kaset, VCD,  dan disebut juga dengan sastra lisan (Djamaris, 2002: 4-5). Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, nyanyian dan puisi Minangkabau tersebut mulai menggunakan teknologi bantu dan disebut sebagai lagu Minangkabau modern.

Berkembangnya industri kaset rekaman di Sumatera Barat sejak tahun 1970-an makin mempopulerkan penyanyi-penyanyi dan lagu pop Minangkabau dalam masyarakat. Mereka di antaranya  Elly Kasim, Nurseha, Juni Amir, Syamsi Hasan, Yan Juned, Tiar Ramon, Lili Syarif, Eva Nurdin, Yan Bastian, dan lain-lain. Lagu-lagu yang mereka populerkan di antaranya, Rabab, Ombak Puruih, Anak Salido, Si Nona, Ayam Den Lapeh, Baju Kuruang, Tinggalah Kampuang, Simpang Ampek, Sinar Riau, dan lain-lain. Lirik lagu ini merupakan respon terhadap banyaknya masyarakat Minangkabau terutama laki-laki yang merantau. Lirik lagu ini awalnya direkam dalam media piringan hitam.

Tema-tema rantau merupakan bagian yang paling banyak didendangkan dalam periode ini. Lirik-lirik lagu tersebut menjadi media interaksi antara perantau, kampung, dan orang yang ditinggalkan. Ada dua fokus utama potret kehidupan seputar lirik-lirik rantau ini; dilema si perantau; kampuang nan maimbau.
Dilema si perantau muncul karena tarikan kampung yang maimbau dan kekuatiran oleh kondisinya pasca pergolakan PRRI. Hal ini dapat diilustrasikan lewat lirik lagu ”Langkisau” (Nuskan Sjarief);
kok lai tabangkik batang tarandam//
tangiang kampuang maimbau//
taganang si aia mato//
rila-rilalah bundo malapeh//
untuang salamaik pulang jo pai.

Lirik lagu ini merupakan sebuah cerita dilema orang rantau yang ingin pulang karena panggilan kampung. Namun, tidak bisa pulang karena kondisi di Minangkabau yang tidak memungkinkan saat itu. Rasa trauma akan masa pergolakan masih menghantui perantau.  Harapan untuk memperbaiki kembali kampung tercinta sangat besar, diiringi oleh panggilan kerinduan kampung (longing home).

Merantau dalam lirik ini tidak dilakukan dalam upaya memenuhi tuntutan adat, seperti dalam pepatah;
”karatau madang di hulu
babuah babungo balun
marantau bujang dahulu
di rumah paguno alun.

Tapi, dilakukan karena kondisi sosial yang tidak menentu. Desakan politik dan tekanan pemerintah mendorong orang Minangkabau untuk merantau meninggalkan negerinya. Sehingga banyak orang yang merantau tanpa sepengetahuan sanak famili dan keluarga lainnya.

Keterpaksaan ini menimbulkan rasa melankolis bagi perantau yang terlihat dari lirik-lirik lagu seperti ”Sinar Riau”. Pengungkapan kerinduan akan kampung dan orang-orang yang ditinggalkan begitu menghiba. Ini didendangkan dalam, ”taragak mandeh jo urang rantau...//sabalah mandeh badan denai lai kapulang...//rabab tolong sampaikan”.

Tampaknya gesekan tali rabab menjadi simbol perindu yang sayup-sayup didendangkan oleh orang kampung yang ditinggalkan oleh perantau terdengar yang lirih. Sementara bagi orang kampung dilema para perantau itu bersambut harapan dengan, ”ondeh rabab yo rabab tolong sampaikan//urang rantau yo rantau lakeh lah pulang”.

Harapan orang kampung ini merupakan mulai kondusifnya situasi sosial di Minangkabau saat itu. Di sisi lain kehancuran tata sosial-budaya masyarakat menanti kepulangan orang rantau untuk memperbaiki kondisi ini. Banyak hal yang telah rusak dan hancur pasca pergolakan. Bahkan ”taratak” sebagai simbol komunalisme masyarakat Minangkabau sudah lama ditinggalkan, sebagaimana dalam lirik ”Taratak Tingga”, ”taratak lak lamo tingga maimbau-imbau//bilo koh masonyo pulang urang di rantau//yo kok lautan sati rantau batuah ndeh bana-bana//taratak kuyuik dek hujan si aia mato”. Upaya revitalisasi sosial-budaya ini menjadi sebuah proyek antara orang kampung dan perantau.

Ciri musik dan lirik masa ini kemudian menjadi pakem dari lirik dan musik lagu pop Minangkabau generasi berikutnya. Rekam ulang dengan pemasukan unsur moderen seperti organ dalam mengemas lirik-lirik tersebut makin memudahkannya diterima oleh masyarakat Minangkabau di perkotaan dan pedesaan. Ide-ide utama dari lirik-lirik itu menginspirasi lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Yen Rustam, Zalmon, An Roy’s, Yeni Puspita, Odi Malik, Susi dan penyanyi-penyanyi generasi baru lainnya.

Diantaranya adalah, ”Marantau Cino”, ”Bayangan Uda”, ”Galau Hati Nan Luko”, ”Pulanglah Ayah”, ”Rayuan Maut”, ”Malam Panantian” dan lainnya. Salah satu lirik yang terinspirasi dari lirik lagu periode 1960-70an itu misalnya, ”Pulanglah Uda” yang dinyanyikan oleh Yen Rustam. Salah satu baitnya yaitu tentang kerinduan terhadap orang rantau, uda kanduang di rantau urang// pulanglah uda di tanah Jao// di tanah Jao di rantau urang// kinilah lupo (kinilah lupo) jo gadih Minang// jan kan surek kaba barito// denai mananti (denai mananti) jo aia mato.

Lirik lagu ini merupakan dendang terhadap orang yang pergi merantau. Dalam lirik ini disuarakan kerinduan orang kampung yang dipersonifikasikan lewat seorang gadis Minang yang kesepian ditinggal sang kekasih. Telah lama ia pergi meninggalkan dirinya untuk pergi merantau. Rantau tampaknya telah mengubah perasaan si lelaki, sehingga jangankan surat, kabar berita tentang dirinya pun tidak bisa didengar oleh si gadis. Topik tentang rantau, orang yang ditinggal, kerinduan seorang gadis, merupakan trend lirik-lirik lagu yang diinspirasi oleh lirik dan musik lagu pop Minangkabau generasi awal, seperti ”Rabab”.

Selain itu, keberadaan lirik-lirik lagu pada era ini menyisakan sebuah catatan menarik dalam konteks peran dan fungsi mamak di Minangkabau. Kebanyakan mandeh menjadi figur utama yang diingat bukan mamak dalam lirik-lirik lagu masa ini. Padahal di Minangkabau mamak merupakan, kapayi tampek batanyo, kapulang tampek babarito. Lirik ini sebanding dengan lirik, ”Tinggalah Kampuang” (Syahrul Yusuf); tinggalah kampuang ranah balingka// gunuang singgalang lai kamanjago// o mandeh kanduang tolong jo do’a// antah pabilo ondeh kito basuo. Jika demikian, tak bisa dipungkiri, lirik-lirik lagu pop Minang masa 1960-70 merupakan icon bagi musik Minang kontemporer. Untuk hal ini, sesungguhnya, kita berutang “ revitalisasi budaya” pasca kehancuran PRRI itu kepada para pengarangnya. Wallahua’alam.

NB: Klik anda terhadap salah satu iklan di blog ini sangat membantu update contentnya. Klik ini tidak akan mendatangkan biaya pada anda. Terima kasih

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komen dan kunjungannya