Bismillah Blog disusun

Antah sapek antah bawa, ramo-ramo di dalam gantang, talatak di rumpun dama, antah sasek antah gawa, blog alah lamo indak dikambang, asa di tuan ka nan bana.

Salawek pada Nabi

Oi Tuan jaweklah salam, salam takzim dari kami, mulo blog ka disabutik.

Mako kaji ka dikambang, lapiaklah didudukan rang nan tibo

Kayu kalek di tapi jurang, di baliak rimbo ruku-ruku, ditabang mako diruntuahkan, aka singkek pandapek kurang, pangalaman nan balun samiang kuku, kok salah dalam manulis minta dimaafkan.

Duo tangan tarantang, tigo juo kapalo

Palupuah tadia nan dibantang, puti batanun suto perak, sungguah blog nanko nan dikambang, samoga menjadi palajaran jo ambo dan urang banyak.

Selo diarak, tangan diapik di dado

Luruih jalan ka Padangpanjang, ka kida jalan Pandaisikek, bakelok lalu Batupalano, jikok dirantang namuah panjang, elok dikumpa dipasingkek, diambiak sado nan paguno. Tarima kasih alah datang.

Sunday, September 30, 2012

Islam dan Perempuan di Minangkabau


Dua karakteristik lain yang dihubungkan kepada orang Minangkabau adalah Islam beserta sistem matrilineal. Salah satu adegium identitas keislaman orang Minangkabau senantiasa dinisbahkan dalam, “jika orang Minangkabau tidak lagi Islam, maka hilanglah “Minangnya” tinggalah “kerbau” lagi”. Artinya menjadi orang Minangkabau sama halnya dengan menjadi pengikut agama Islam sepenuhnya.

Sistem matrilineal orang Minangkabau, menurut Kato (2005: 38), dikenali dengan tiga ciri utama. Pertama, keturunan dan pembentukan keluarga seperti saparuik, sapayuang, sasuku yang diatur menurut garis ibu. Ibu dalam keluarga Minangkabau disebut dengan bundo kanduang, yang memiliki peran besar yaitu yang mewarisi harta pusaka untuk menjaga anak dan kemenakan, selain itu, Bundo Kanduang berarti ibu sejati (Nizar, 2004: 45).

Menurut (Hakimy, 1991: 105) adat Minangkabau membagi perempuan ke dalam tiga bagian berdasarkan sifatnya. Pertama, bernama simarewan, dia memiliki sifat plin-plan, tidak punya pendirian, itu suka ini setuju, seperti baliang-baliang di atas bukit, kemana angin kencang itu yang diikutinya, dan tidak menghargai suaminya.

Kedua, adalah mambang tali awan, ialah perempuan tinggi hati, jika berbicara dengan orang lain suka meninggi-ninggi, tidak malu membicarakan tentang suaminya, bahkan dilebih-lebihkan. Perempuan seperti ini tidak baik dalam rumah gadang.

Ketiga, parampuan, dialah wanita yang berbudi dan sopan, memakai basa basi, tahu dengan sindirian atau bahasa melereng, tahu dengan sumbang dan salah, takut kepada Allah dan Rasul, bermulut manis dan berbahasa yang disenangi, pandai bercanda sama besar, menghormati ibu, bapak, dan kepada orang yang lebih tua. Perempuan seperti inilah yang diharapkan sebagai bunda kanduang yang akan melahirkan anak-anak yang baik di rumah gadang. Apalagi seorang perempuan parampuan menikah dengan laki-laki ninik mamak dan berada di rumah gadang yang memiliki mamak rumah yang arif maka anak-anaknya akan baik. Dengan demikian prilaku anak-kemenakan lebih mudah bermasyarakat karena berperannya semua anggota keluarga di sebuah rumah gadang, ibu, saudara-saudaranya dan mamak sebagai figur utama.

Kedua, kekuasaan dalam payuang atau paruik ada di tangan mamak, bukan ayah. Mamak merupakan saudara laki-laki dari ibu. Segala keputusan yang akan diambil dalam musyawarah di rumah gadang harus sepengetahuan dan seizin mamak. Mamak merupakan penanggung jawab atas keberlangsungan kehidupan di rumah gadang secara komunal, baik dalam rangka menambah kekayaan, mempertahankan harga diri, dan mendidik kemenakannya melalui pendidikan formal maupun informal bersama keluarga komunalnya.
Dalam pendidikan, seorang mamak biasanya banyak membantu kebutuhan kemenakannya secara  materi. Selain itu  mamak sosok pertama yang menentukan masa depan kemenakan, bahkan mamak juga yang menentukan jodoh bagi kemenakannya. Mamak dalam masyarakat Minangkabau digambarkan sebagai:

nan gadang basa batuah,
nan gadang dek anak kamanakan
basa dek cupak jo gantang
tuah dek adaik jo pusako
ka pai tampek batanyo
ka pulang bakeh babarito
ka bukik indak barangin
ka lurah pantang bariak,
walau bak mano kareh angin
nan bana yo asak indak

(yang besar basa bertuah
besarnya karena anak kemenakan
besar karena cupak dengan gantang
tuah karena adat dan pusaka
akan pergi tempat bertanya
pulang tempat berberita
ke bukit tidak berangin
ke lurah pantang beriak
walau bagaimana keras angin
yang benar dipindahkan tidak)

Gambaran Sosial-Budaya Minangkabau

Minangkabau merupakan suatu daerah yang terletak di sepanjang pesisir barat pulau Sumatera bagian tengah, antara Tapanuli dan Bengkulu. Sebagaian besar wilayah Minangkabau pada masa sekarang adalah Sumatra Barat (Azra, 2003: 1). Pusat pemukiman orang Minangkabau berada di empat lembah. Keempat lembah itu terletak dalam baris Bukit Barisan di satu titik yang mencapai lebar 50 mil dan menjadi dua deretan pergunungan yang terpisah. Di lembah gunung Singgalang terdapat daerah Agam. Di sebelah Tenggara lembah Agam terdapat lembah Tanah Datar. Keduanya dipisahkan oleh Gunung Merapi. Di lembah Gunung Merapi terdapat lembah Singkarak-Solok. Sebelah Barat Laut lembah ini berbatasan dengan Gunung Talang. Di Lembah bagian Timur terdapat Lima Puluh Kota dan di ujung tenggara lembah ini terdapat Gunung Sago. Barisan pegunungan yang membatasi lembah-lembah ini menjadi faktor pembeda antara satu wilayah dengan lainnya, serta memungkinkannya masyarakat setempat mengembangkan identitas sosialnya sendiri (Dobbin, 2008: 3-4).

Pengembangan identitas sosial itu tidak bisa dilepaskan dari perkembangan pemukiman-pemukiman masyarakat Minangkabau. Pemukiman tersebut kemudian berjalan secara otonom dan dinamakan sebagai nagari. Nagari di Minangkabau tidak diperintah oleh raja, tapi penghulu. Raja bagi masyarakat Minangkabau dikenal dalam wilayah rantau (Abdullah, 1966: 5).

Pada masa lampau masyarakat Minangkabau lebih mengarahkan interaksi mereka dengan dunia luar ke pantai timur Sumatera. Interaksi dengan dunia luar itu jugalah yang kemudian memperluas wilayah rantau orang Minangkabau, bahkan sampai ke Negeri Sembilan Malaysia. Selain itu, keberadaan rantau dan perilaku merantau menurut Suparlan (1986: 89) merupakan wujud dinamika sosial suatu masyarakat. Berhubung merantau merupakan perpindahan sementara (Junus, 1984: 55), maka interaksi rantau dan daerah asal ini tidak menjadi fondasi utama pembentukan nilai-nilai keminangkabauan, serta masuknya pemikiran-pemikiran baru yang memperkaya identitas sosio-budaya orang Minangkabau. Untuk itu daerah rantau dapat juga diidentifikasi secara sosio-kultural dengan Minangkabau (Azra, 2003: 36).

Merantau merupakan salah satu karakteristik orang Minangakabau. Tinggal di kampung menjadi petani hanya berarti kemiskinan (Junus, 1984: 54). Menurut Azra (2003: 36) praktik merantau tidak hanya sekedar produk urbanisasi, tetapi telah berakar secara mendalam dalam sejarah dan sistem sosial Minangakabau. Dalam sistem sosial Minangkabau para pemuda-pemuda yang memang tidak mendapat kamar dalam rumah gadang, mesti pergi merantau untuk nanti sekembalinya bisa diserahi tanggung jawab sebagai ninik mamak atau pemangku adat di kaumnya. Salah satu pantun terkenal yang bertema ajakan merantau itu adalah:

karatau madang di hulu
babuah babungo balun
marantau bujang dahulu
di rumah baguno alun

(keratau madang di hulu
berbuah berbunga belum
merantau bujang dahulu
di rumah berguna belum)

Selain itu, merantau diupayakan untuk: pamagang sawah jo ladang, nak mambela sanak kanduang (menebus sawah dan ladang yang tergadai, untuk membela saudara kandung). Kato (2005: 13-14) mambedakan rantau atas tiga periode bagaimana merantau atau mobilitas geografis dalam sejarah Minangkabau dijalani oleh penduduknya. Pertama, merantau untuk pemekaran nagari berlangsung dari masa legenda hingga awal abad ke-19. Merantau ini dilakukan untuk memperluas daerah penempatan dan lahan pertanian. Kedua,  merantau keliling (merantau secara bolak-balik atau sirkuler) dari akhir abad ke-19 sampai tahun 1930-an, hal ini dilakukan untuk mencari penghidupan yang lebih layak dari pertanian. Perantaunya adalah laki-laki, dipengaruhi oleh keterbatasan lahan pertanian, sehingga merantau menjadi bagian untuk menjadi pegawai, saudagar, guru dan pengrajin. Selanjutnya, merantau adalah hasrat pribadi sebagai upaya menghindari kontrol matrilineal, namun mereka tidak memutuskan hubungan dengan kampung karena anak dan istri, bagi yang telah berkeluarga masih tinggal di kapung. Perantau keliling akan pulang kapan ia mau. Ketiga, merantau Cino (merantau secara Cina) mulai dari 1950-an, terutama setelah pergolakan PRRI sampai sekarang.

Saturday, September 29, 2012

Kajian Lirik Lagu Minang Modern

Penelitian tentang lagu Minangkabau, baik tentang lirik lagu dan realitas sosial yang melatari lahirnya lagu itu, maupun terkait kepengarangannya pernah dilakukan penelitian oleh beberapa orang. Penelitian itu di antaranya dilakukan oleh Wasana, “Struktur Lirik Lagu Minang Modern” (1992); Afrianti, ”Lirik Lagu Minang Modern Karya Nuskan Syarif dalam Konsepsi Semiotik” (1992); Gayatri, ”Struktur Lirik Lagu Minang Modern Karya Yusaf Rahman” (1992), Herlinawati, ”Pergeseran Makna Pada Lirik Lagu Pop Indonesia Populer yang Diterjemahkan ke dalam Bahasa Minang: Sebuah Kajian Semiotik” (2000); Barendregt, “The Sound of Longing for Home: Redefining a Sense of Community through Minang Popular Music” (2002); Suryadi, ”Minangkabau Commercial Cassettes and the Cultural Impact of the Recording Industry in West Sumatra” (2003); Fitrianti, ”Tinjauan Resepsi Sastra Terhadap Lirik Lagu Minang Modern karya Nedi Gampo” (2005); Suryana, ”Pencitraan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan Minangkabau dalam Lirik Lagu Minang Modern: Tinjauan Feminisme” (2008).

Berdasarkan metode penelitian yang dipakai dalam setiap penelitian di atas, dapat dilihat kontribusi yang dihasilkan. Wasana (1992) dalam penelitiannya yang berjudul: Struktur Lirik Lagu Minang Modern, menjelaskan bahwa dalam perkembangan musik di Indonesia yang sangat beragam baik jenis maupun iramanya seperti saat ini, ternyata lagu daerah Minangkabau tetap dapat tumbuh dan berkembang dengan gaya dan warnanya sendiri. Lagu daerah Minangkabau mewakili atau menyuarakan isi hati etnis Minangkabau, khususnya yang masih tinggal di daerah asalnya.

Afrianti (1992) dalam penelitiannya yang berjudul: Lirik Lagu Minang Modern Karya NuskanSyarif dalam konsepsi Semiotik, menemukan bahwa struktur dinamik dari lirik lagu yang terdiri dari tema, mengandung nila realitas sosial masyarakat Minangkabau; tentang percintaan, perantauan, dan pelestarian lingkungan hidup. Lagu ini meneruskan konvensi puisi masyarakat Minangkabau yang telah ada yaitu konvensi pantun.
Selanjutnya dalam penelitian Gayatri (1992): Struktur Lirik Pada Lagu Minangkabau Modern karya Yusaf Rahman. Penelitian ini menggambarkan kalau karya yang diciptakan oleh penyair adalah produk dari zamannya, serta pendapat-pendapat terhadap sosial yang dilihat dan diamati pengarang.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Herlinawati (2000) yang berjudul: Pergeseran Makna Pada Lirik Lagu Pop Indonesia Populer yang Diterjemahkan ke Dalam Bahasa Minang (Sebuah Kajian Semiotik), diperoleh kesimpulan kalau di dalam lirik lagu pop Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Minangkabau terdapat pergeseran makna dari bahasa sumber kepada bahasa terjemahan. Dengan adanya pergeseran makna tersebut menyebabkan lirik lagu pop Indonesia populer yang diterjemahkan ke dalam bahasa Minangkabau ada beberapa kata, frasa dan kalimat yang menjadi rancu kedengarannya.

Barendregt, dalam “The Sound of Longing for Home: Redefining a Sense of Community through Minang Popular Music”, menjelaskan lagu-lagu Minangkabau, misalnya yang dinyanyikan oleh kelompok Gumarang, merupakan bentuk dari pengingatan masa lampau pasca peristiwa PRRI tahun 1958. Jadi bisa disimpulkan menurutnya bahwa lagu-lagu Minangkabau yang dibawakan oleh Gumarang Grup menjadi pendukung penting—dalam perpsektif kemusikan—dari pertanyaan apa itu menjadi orang Minangkabau.

Dalam “Minangkabau Commercial Cassettes and the Cultural Impact of the Recording Industry in West Sumatera”, Suryadi menjelaskan di Indonesia mikromedia seperti halnya kaset telah lama menjadi pembawa/agen penting dari pembentukan ulang budaya lokal. Kaset-kaset yang diproduksi secara komersial itu memiliki kontribusi penting terhadap pelegitimasian suatu identitas suku bangsa, dan sebagai bentuk pembangkangan terhadap hegemoni negara yang berusaha menguasai nilai dan norma masyarakatnya.
Fitrianti (2005), dalam penelitiannya  yang berjudul: Tinjauan Resepsi Sastra Terhadap Lirik Lagu MinangModern Karya Nedi Gampo. Menemukan bahwa pada lagu-lagu ciptaan Nedi Gampo banyak mengandung nilai-nilai sarkasme. Menggunakan nama-nama binatang. Mengandung cilotehan yang disenangi oleh semua umur, tingkat pendidikan.

Penelitian Suryana (2008) yang berjudul: Pencitraan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan Minang dalam Lirik lagu Minang Modern (Tinjauan Feminisme), menemukan bahwa perempuan Minangkabau yang diidealkan dan diposisikan sebagai makhluk yang beruntung, ternyata mengalami tindak kekerasan.
Selain itu Suryadi dalam tulisannya yang dimuat di harian Padang Ekspres edisi Minggu, 26 Oktober  2008, ”Transkripsi Teks Lagu Dalam Klip VCD Minang (Catatan kecil untuk pelaku industri rekaman daerah Sumatera Barat)”. Suryadi menjelaskan bahwa kerja yang baik para pelaku industri rekaman daerah Sumatera Barat dalam soal editing transkripsi teks lagu-lagu dalam VCD Minangkabau, secara langsung atau tidak, ikut membantu proses standardisasi dan pemeliharaan Bahasa Minangkabau. Lagu-lagu daerah seperti pop Minangkabau adalah salah satu inang bagi pengembangan dan pemertahanan penggunaan bahasa daerah, baik dalam arti lisan maupun tulisan.

Lirik Lagu Minang dan Sosiologis

Lirik lagu merupakan bagian dari bentuk puisi pendek yang dinyanyikan (Semi: 106).  Lirik lagu terikat oleh irama, dan kadang pada rima, tapi tidak pada penyusunan larik dan bait (Sudjiman, ed., 1984: 61). Selain itu lirik lagu memiliki kisah atau cerita dan pesan untuk masyarakat penikmatnya. Percintaan, masakan tradisional (Yulia, 2009), komedi, perantauan, dan sejarah sosial-budaya masyarakat dalam perspektif pengarang merupakan sebagian tema dari kisah atau cerita sebuah lagu. Dengan demikian, lirik lagu merupakan sebuah karya sastra yang selain mengandung anasir puitis, juga memiliki unsur realitas sosial pada saat karya itu diciptakan.

Menurut Laurenson (1972) karya sastra merupakan dokumen sosial yang di dalamnya terefleksi situasi pada masa sastra itu diciptakan (Fananie, 2002: 133). Artinya teks dalam  karya sastra itu tidak bisa dilepaskan dari faktor sosial-budaya yang melatari lahirnya karya tersebut (Mahayana, 2005: 229). Ini disebut dengan perspektif sosiologis dalam karya sastra. Pada hakikatnya banyak lirik lagu Minang kontemporer diduga merupakan gambaran kehidupan masyarakat, struktur sosial, dan kebudayaan Minangkabau. Meski lirik lagu ini merupakan karya sastra, secara simbolik telah memberi gambaran terhadap fenomena sosial yang diakibatkan oleh peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi di tengah masyarakat Minangkabau dan pengaruh modernisasi Orde Baru (Amir, 1986).

Lirik-lirik lagu Minang sesungguhnya mengangkat tata nilai kemasyarakatan yang pernah berkembang khusus dalam masyarakat Minangkabau di  Sumatera Barat pada  satu era. Sebuah struktur karya sastra tidak berada dalam kekosongan tapi ada hubungannya dengan struktur di luar teks itu sendiri atau ada hubungannya dengan dunia nyata (Yudiono, 1986: 116).

Karya sastra, di dalamnya termasuk lirik lagu, merupakan gambaran akan harapan, kecemasan dan aspirasi masyarakat pada periode tetentu dan kebudayaan tertentu, bahkan karya sastra memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu sebagai motifator ke arah aksi sosial yang lebih bermakna, sebagai  pencari nilai-nilai kebenaran, yang dapat mengankat dan memperbaiki situasi dan kondisi alam semesta (Ratna, 2003: 35-36).

Lirik Lagu Rabab

Lirik lagu ini menggambarkan kondisi perantauan yang kuat, dan mengubah stereotype yang memposisikan laki-laki ibarat abu di atas tunggul. Laki-laki dalam konteks lagu ini justru berada di posisi yang rasa rindu seorang istri kampung terhadap suami, saudaranya yang merantau mengalahkan semuanya. Sebagaimana yang terdapat pada lirik,

yo sabab-basabab kami banyanyi ondeh
yo dek taragak-yo dek taragak
jo urang rantau-jo urang rantau
ondeh rabab yo rabab tolong sampaikan
urang rantau yo rantau lakehlah pulang

Berkembangnya industri kaset rekaman di Sumatera Barat sejak tahun 1970-an makin mempopulerkan penyanyi-penyanyi dan lagu Minangkabau dalam masyarakat. Mereka di antaranya  Elly Kasim, Nurseha, Juni Amir, SyamsiHasan, Yan Juned, Tiar Ramon, Lili Syarif, Eva Nurdin, Yan Bastian, dan lain-lain. Lagu-lagu yang mereka populerkan di antaranya, Rabab, Ombak Puruih, Anak Salido, Si Nona, Ayam Den Lapeh, Baju Kuruang, Tinggalah Kampuang, Simpang Ampek, Sinar Riau, dan lain-lain. Lirik lagu ini merupakan respon terhadap banyaknya masyarakat Minangkabau terutama laki-laki yang merantau. Lirik lagu ini awalnya direkam dalam media piringan hitam.

Lirik-lirik lagu tersebut pada periode 1960an direkam dalam bentuk piringan hitam. Namun pada tahun 1970an lirik-lirik lagu itu direkam ulang dalam bentuk kaset (Suryadi, 2003: 59).

Lirik Lagu Minang


Minangkabau memiliki nyanyian dan puisi tradisional dalam bentuk pantun, talibun, kaba, indang, syair yang biasanya dibawakan dengan cara dilagukan. Nyanyian dan puisi itu disampaikan dari mulut ke mulut tanpa menggunakan teknologi modern seperti piringan hitam, kaset, VCD,  dan disebut juga dengan sastra lisan (Djamaris, 2002: 4-5). Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, nyanyian dan puisi Minangkabau tersebut mulai menggunakan teknologi bantu dan disebut sebagai lagu Minangkabau modern.

Hal penting dari sebuah lagu adalah lirik. Lirik lagu itu merupakan puisi pendek yang dinyanyikan (Semi, 1984: 106) dan hasil kreatif seorang pengarang. Lirik-lirik itu berawal dari imajinasi, pengalaman pribadi atau orang sekelilingnya, serta respon terhadap sebuah situasi sosial yang dihadapinya. Lirik-lirik lagu yang lahir tersebut kemudian banyak bertema cinta, komedi, dan tidak jarang menceritakan perubahan sosial yang terjadi di sekitar si pengarang lagu.