Sunday, September 30, 2012

Gambaran Sosial-Budaya Minangkabau

Minangkabau merupakan suatu daerah yang terletak di sepanjang pesisir barat pulau Sumatera bagian tengah, antara Tapanuli dan Bengkulu. Sebagaian besar wilayah Minangkabau pada masa sekarang adalah Sumatra Barat (Azra, 2003: 1). Pusat pemukiman orang Minangkabau berada di empat lembah. Keempat lembah itu terletak dalam baris Bukit Barisan di satu titik yang mencapai lebar 50 mil dan menjadi dua deretan pergunungan yang terpisah. Di lembah gunung Singgalang terdapat daerah Agam. Di sebelah Tenggara lembah Agam terdapat lembah Tanah Datar. Keduanya dipisahkan oleh Gunung Merapi. Di lembah Gunung Merapi terdapat lembah Singkarak-Solok. Sebelah Barat Laut lembah ini berbatasan dengan Gunung Talang. Di Lembah bagian Timur terdapat Lima Puluh Kota dan di ujung tenggara lembah ini terdapat Gunung Sago. Barisan pegunungan yang membatasi lembah-lembah ini menjadi faktor pembeda antara satu wilayah dengan lainnya, serta memungkinkannya masyarakat setempat mengembangkan identitas sosialnya sendiri (Dobbin, 2008: 3-4).

Pengembangan identitas sosial itu tidak bisa dilepaskan dari perkembangan pemukiman-pemukiman masyarakat Minangkabau. Pemukiman tersebut kemudian berjalan secara otonom dan dinamakan sebagai nagari. Nagari di Minangkabau tidak diperintah oleh raja, tapi penghulu. Raja bagi masyarakat Minangkabau dikenal dalam wilayah rantau (Abdullah, 1966: 5).

Pada masa lampau masyarakat Minangkabau lebih mengarahkan interaksi mereka dengan dunia luar ke pantai timur Sumatera. Interaksi dengan dunia luar itu jugalah yang kemudian memperluas wilayah rantau orang Minangkabau, bahkan sampai ke Negeri Sembilan Malaysia. Selain itu, keberadaan rantau dan perilaku merantau menurut Suparlan (1986: 89) merupakan wujud dinamika sosial suatu masyarakat. Berhubung merantau merupakan perpindahan sementara (Junus, 1984: 55), maka interaksi rantau dan daerah asal ini tidak menjadi fondasi utama pembentukan nilai-nilai keminangkabauan, serta masuknya pemikiran-pemikiran baru yang memperkaya identitas sosio-budaya orang Minangkabau. Untuk itu daerah rantau dapat juga diidentifikasi secara sosio-kultural dengan Minangkabau (Azra, 2003: 36).

Merantau merupakan salah satu karakteristik orang Minangakabau. Tinggal di kampung menjadi petani hanya berarti kemiskinan (Junus, 1984: 54). Menurut Azra (2003: 36) praktik merantau tidak hanya sekedar produk urbanisasi, tetapi telah berakar secara mendalam dalam sejarah dan sistem sosial Minangakabau. Dalam sistem sosial Minangkabau para pemuda-pemuda yang memang tidak mendapat kamar dalam rumah gadang, mesti pergi merantau untuk nanti sekembalinya bisa diserahi tanggung jawab sebagai ninik mamak atau pemangku adat di kaumnya. Salah satu pantun terkenal yang bertema ajakan merantau itu adalah:

karatau madang di hulu
babuah babungo balun
marantau bujang dahulu
di rumah baguno alun

(keratau madang di hulu
berbuah berbunga belum
merantau bujang dahulu
di rumah berguna belum)

Selain itu, merantau diupayakan untuk: pamagang sawah jo ladang, nak mambela sanak kanduang (menebus sawah dan ladang yang tergadai, untuk membela saudara kandung). Kato (2005: 13-14) mambedakan rantau atas tiga periode bagaimana merantau atau mobilitas geografis dalam sejarah Minangkabau dijalani oleh penduduknya. Pertama, merantau untuk pemekaran nagari berlangsung dari masa legenda hingga awal abad ke-19. Merantau ini dilakukan untuk memperluas daerah penempatan dan lahan pertanian. Kedua,  merantau keliling (merantau secara bolak-balik atau sirkuler) dari akhir abad ke-19 sampai tahun 1930-an, hal ini dilakukan untuk mencari penghidupan yang lebih layak dari pertanian. Perantaunya adalah laki-laki, dipengaruhi oleh keterbatasan lahan pertanian, sehingga merantau menjadi bagian untuk menjadi pegawai, saudagar, guru dan pengrajin. Selanjutnya, merantau adalah hasrat pribadi sebagai upaya menghindari kontrol matrilineal, namun mereka tidak memutuskan hubungan dengan kampung karena anak dan istri, bagi yang telah berkeluarga masih tinggal di kapung. Perantau keliling akan pulang kapan ia mau. Ketiga, merantau Cino (merantau secara Cina) mulai dari 1950-an, terutama setelah pergolakan PRRI sampai sekarang.

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komen dan kunjungannya